BAB
I
PENDAHULUAN
Bagian
pendahuluan pada makalah ini menguraikan tentang latar belakang, rumusan
masalah, dan tujuan masalah.Paparan lebih lanjut sebagai berikut.
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam suatu perjanjian antara pihak atau suatu
hubungan bisnis, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang
terjadi seringkali terkait dengan cara melaksanakan klausal-klausal perjanjian.
Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, ada beberapa cara yang biasanya dipilih,
yaitu dapat melalui mediasi, negosiasi, konsiliasi dan pengadilan arbitrase.
Pengertian arbitrase menurut UU No. 30 tahun
1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa. Sedangkan definisi dari perjanjian arbitrase adalah
suatu kesepakatan berupa klausal arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.Klausal
arbitrase berdasarkan pada akta compromittendo dan akta kompromis. Di dalam
kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tercantum dalam pasal 13 sebagai syarat
sahnya suatu perjanjian adalah: sepakat, cakap, hal, tertentu, dan sebab yang
halal.
Dalam pasal 5 UU No 30 tahun 1999 disebutkan
bahwa “ Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa
dibidang perdagangan dan hak yang menurut hokum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”. Dengan
demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam ruang
lingkup keluarga.Arbitrase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah
perniagaan.Bagi pengusaha, arbitase merupakan pilihan yang paling menarik guna
menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
mereka.Kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase terlihat
pada pencantuman arbitration clause
(klausal arbitase) dalam kontrak-konrat bisnis.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang
berhubungan dengan peradilan arbitrase diantaranya adalah :
1. Apa
pengertian peradilan arbitrase?
2. Apa
saja jenis-jenis dari arbitrase?
3. Bagaimana
dengan kelebihan dan kelemahan dari peradilan arbitrase?
4. Apa
sajakah contoh kasus yang menggunakan peradilan arbitrase?
BAB II
KAJIAN TEORI
Menurut
H. M. N Poerwosujtipto, Arbitrase dapat diartikan sebagai suatu peradilan
perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak
pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim
yang tidak memihak dan yang ditunjuk oleh pihak sendiri dan putusannya mengikat
bagi kedua belah pihak.
Menurut
H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu
sengketa yang dilakukan yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa dan
pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
Menurut
Frank Elkoury dan Etna Elkoury, Arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau
yang simple yang dipilih oleh para
pihak secara sukarela yang ingin perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral
sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan berdasarkan dalil-dalil dalam
perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan
tersebut secara final dan mengikat.
Menurut
Black’s Law Dictionary, Arbitration an
arrangement for taking anabiding by the judgement of selected persons in some
disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and
is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of
ordinary litigation.
Menurut
Prof. Subekti, Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh
seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan
tunduk atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.
Menurut Pasal 1 UU No 30 tahun 1999, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian
Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
BAB
III
PEMBAHASAN
Bagian pembahasan dalam makalah ini
menguraikan tentang apa pengertian dari arbitrase, apa saja jenis-jenis dari
arbitrase, bagaimana dengan kelebihan dan kelemahan dari peradilan arbitrase
dan apa saja contoh kasus arbitase dan bagaimana analisisnya. Paparan lebih
lanjut sebagai berikut.
A.
Peradilan
Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata
“Arbitrare” (bahasa latin) yang
berarti “kekuasaaan untuk menyelesaikan suatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata diluar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian yang dibuat secara
tertulis oleh pihak yang bersengketa. Sebagai salah satu cara penyelesaian di
luar peradilan, arbitrase dijalankan atas dasar kehendak sendiri dari para
pihak yang bersengketa dalam bentuk perjanjian arbitrase. Arbitrase merupakan
suatu bentuk alternative penyelesaian sengketa yang dilakukan, diselenggarakan
dan diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase, yang merupakan “hakim
swasta”.
Jika
arbitrase ini dibandingkan dengan mediasi, maka arbitrase ini memberikan suatu
putusan berkenaan dengan hak-hak dari para pihak.Putusan itu dijatuhkan oleh
suatu Dewan Arbitrase yang bisa secara tunggal maupun terdiri dari beberapa
arbitrator. Jika tidak terpilih sendiri oleh para pihak, maka menurut ketentuan
arbitrase WIPO, WIPO akan diangkat sebagai arbitrator tunggal, kecuali apabila
dari keadaan sekitar persoalan bersangkutan, bahwa menurut pusat arbitrase ini
perlu diangkat 3 orang arbitrator.
Sedangkan peradilan atau perjanjian
arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausal arbitrase yang tercantum
dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum sengketa atau
suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak setelah sengketa.Apabila
para pihak pemilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi,
maka persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam perjanjian tertulis
yang ditandatangani oleh para pihak. Dalam hal ini para pihak tidak dapat
menandatangani perjanjian tertulis tersebut, maka perjanjian tersebut harus
dibuat dalam bentuk akta notaris. Jika para pihak telah membuat perjanjian
arbitrase, maka pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan untuk mengadili
sengketa para pihak yang telah terkait dlam perjanjian arbitrase dan para pihak
yang bersengketa tidak lagi berhak untuk mengajukan penyelesaian sengketanya
tau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
Pengadilan Negeri wajib untuk menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu
penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase.
Jenis sengketa yang bisa
diselesaikan melalui arbitrase yaitu di bidang perdagangan dan mengenai hak
yang menurut hokum dan peraturan UU dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.Jadi, sengketa-sengketa perdata diluar perdagangan, seperti
sengketa di bidang keluarga tidak bisa diselesiaikan melalui arbitrase. Secara
singkat sumber hukum arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Pasal
377 HIR
“Jika orang
Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh
juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang
berlaku bagi orang Eropa”.
b. Pasal
615 s/d 651 RV
Persetujuan
arbitrase dan pengangkatan para arbiter (pasal 615 s/d 623 RV).
Pemeriksaan di
muka arbitrase (pasal 631 s/d 674 RV).
Putusan
Arbitrase (pasal 631 s/d 674 RV)
Upaya-upaya
terhadap putusan arbitrase (pasal 641 s/d 674 RV)
Berakhirnya acara
arbitrase (pasal 648-651 RV)
Dalam
klausal atau persetujuan yang dibuat, para pihak harus dengan jelas
mencantumkan bahwa mereka menginginkan penyeesaian sengketa melalui arbitrase,
dan mereka juga telah menuangkan dengan jelas, siapa-siapa saja yang mereka
tunjuk sebagai arbiter yang akan menyelesaikan sengketa mereka, tata cara apa
saja yang ditempuh, bagaimana cara arbiter menyelesaikan sengketa tersebut,
berapa lama sengketa tersebut harus telah diselesaikan serta bagaimana sifat
dari putusan yang dijatuhkan oleh arbiter tersebut.
B.
Syarat
Arbitrase
Berdasarkan
pasal 66 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan arbitrase
internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum republik
Indonesia, jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Putusan
arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional.
2. Putusan
arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum
Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
3. Putusan
arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia dan keputusannya
tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
4. Pusatan
arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekutor dari ketua pengadilan negeri Jakarta pusat.
C.
Jenis-jenis
Arbitrase
Arbitrase
dapat berupa arbitrase sementara ( ad hoc) maupun arbitrase melalui badan
permanen( institusi) . Arbitrase ( ad hoc ) dilaksanakan berdasarkan aturan
aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No 30 Tahun
1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa atau UNCITRA
Arbitarion rules. Pada umumnya arbitrase
ad hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukkan majelis
arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang di sepakati oleh para pihak.
Penggunaan arbitrase ad hoc perlu
disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitase
institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelolah oleh berbagai badan
arbitrase berdasarkan aturan aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat
ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan badan
arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) , atau yang
Internasional seperti The Rules Of Arbitraion dari The Internasional Chamber Of
Commerce ( ICC) di Paris The Arbitration Rules dari The International Center
For Settlement Of Investment Disputes ( ICSID ) di Washington. Badan badan
tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri sendiri.
BANI ( Badan Arbitrase Nasional Indonesia )
memberi standar klausal arbitrase sebagai berikut: ‘’ semua sengketa yang
timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh badan arbitrase
nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan peraturan prosedur arbitrase BANI,
yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai
keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir. Standar klausal arbitrase (UNCITRAL
) United Nation Comission Of Internation
Trade Law adalah sebagai berikut : “ setiap sengketa pertantangan atau tuntutan
yang terjadi atau sehubungan dengan
perjanjian ini, atau won prestasi, pengakhiran, atau sah tidaknya
perjannjianakan diselesaikan melalui arbitrase yang sesuai.
Pada dasarnya
arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:
1. Factum de compromitendo
yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbul sengketa.
2. Akta
kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak
setelah timbul sengketa.
Menurut
Priyatna Abdurrasyid, ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul
arbitrase. Artinya ada atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah
suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan
bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa
timbul.
D.
Perjanjian
Arbitrase
Suatu
sengketa yang dapat diajukan ke arbitrase, harus mendapat kesepakatan terlebih dahulu
dari masing-masimg pihak. Keharusan adanya persetujuan dari masing-masing pihak
ini diatur dalam Pasal 7 UU No 30 Tahun 1999 bahwa, “Para pihak dapat
menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka
untuk diselesaikan melalui arbitrase.” Para pihak yang akan menempuh proses
arbitrase sebagaimana di atur dalam Pasal 8 UU No 30 Tahun 1999, yakni
sebagaimana berikut:
1. Dalam hal timbul sengketa, pemohon
harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, email atau dengan buku
ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon
atau termohon berlaku.
2. Surat pemberitahuan untuk mengadakan
arbitrase memuat yaitu,
a. Nama dan alamat para pihak
b. Penunjukan kepada klausula atau
perjanjian arbitrase yang berlaku
c. Perjanjian atau masalah yang menjadi
sengketa
d. Dasar tuntutan dan jumlah yang
dituntut, apabila ada.
e. Cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
f. Perjanjian yang diadakan oleh para
pihak tentang yang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
Perjanjian
tertulis untuk menggunakan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa yang harus
dibuat oleh para pihak untuk membuktikan bahwa para pihak telah mencapai
kesepakatan dan hal tersebut dibuktikan dengan perjanjian arbitrase yang telah
ditandatangani. Permasalahan yang mungkin terjadi untuk dapat memperoleh
kesepakatan arbitrase adalah adanya kemungkinan para pihak tidak dapat
menuliskan perjanjian arbitrase, apabila hal tersebut terjadi, sesuai dengan
Pasal 9 UU No 30 Tahun 1999, bahwa,
“Dalam hal para
pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), perjanjian tertulis harus dibuat dalam bentuk akte notaries”.
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase oleh para pihak setelah terjadi sengketa, memiliki
kekhususan tersendiri karena berdasarkan Pasal 9 ayat (3) UU No 30 1999,
perjanjian tertulis tersebut dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) UU No. 30 Tahun
1999 harus memuat:
a. Masalah yang dipersengketakan
b. Nama lengkap dan tempat tinggal para
pihak
c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter
atau majelis arbitrase
d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase
akan mengambil keputusan.
e. Nama lengkap sekretaris
f. Jangka waktu penyelesaian sengketa
g. Pernyataan kesediaan dari arbiter
h. Pernyataan kesediaan dari pihak yang
bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian
sengketa melalui arbitrase.
Berdasarkan
Pasal 9 ayat (4) UU No 30 Tahun 19999 akibat hukum yang terjadi apabila
perjanjian tertulis tersebut tidak memuat apa yang telah diatur pada pasal
diatas, maka pperjanjian para pihak batal demi hukum. Dengan adanya perjanjian
arbitrse yang telah disepakati oleh para pihak, secara yuridis telah meniadakan
kewenangan dari pengadilan negeri untuk memeriksa sengketa tersebut. Hal ini
secara tegas di atur dalam Pasal 11 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 yang mengatur
bahwa,
“ Adanya suatu
perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termasuk dalam perjanjian ke Pengadilan
Negeri”.
Begitu pula
Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 yang mengatur bahwa,
“Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa paqra pihak yang telah terikat
dalam perjanjian arbitrase”.
Pengadilan
Negeri tidak dapat memeriksa sengketa apabila para pihak sebelumnya telah
terikat dengan perjanjian arbitrase, lebih ditegaskan dalam Pasal 11 ayat (2)
UU No 30 Tahun 1999, bahwa:
“Pengadilan
Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian
sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal
tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini”
Secara
otomatis pengadilan negeri tidak dapat memeriksa sengketa tersebut dan
berkewajiban menolak untuk memeriksa perkara tersebut. Hal ini disebabkan oleh
karateristik dari arbitrase itu sendiri yang merupakan lembaga penyelesaian
untuk permasalahan di bidang perdagangan sebagaimana di atur dalam Pasal 5 ayat
(1) UU No 30 Tahun 1999. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui
arbitrase yang dimaksud dalam pasal ini yaitu sengketa yang tidak dapat
diadakan perdamaian. Hal-hal tertentu sebagaimana yang dimaksud pada ayat
tersebut di atas adalah apabila terdapat unsur pidana pada sengketa tersebut.
E. Arbiter
Arbiter
adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau
yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase untuk memberi
putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui
arbitrase. Tentunya tidak setiap orang dapat menjadi arbiter, untuk dapat menjadi
arbiter pada lembaga arbitrase harus memenuhi persyaratan sebagaimana
ditentukan pada Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 sebagai berikut :
a. Cakap melakukan tindakan hukum
b. Berumur paling rendah 35 tahun
c. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai dengan sederajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa.
d. Tidak mempunyai kepentingan financial atau
kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara
aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
Persyaratan
ini bersifat mutlak, dalam arti harus dipenuhi oleh mereka yang berkeinginan
menjadi arbiter di lembaga arbitrase. Namun, tidak semmua orang bisa menjadi
Arbiter meskipun telah memiliki kualifikasi yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat
(1) UU No. 30 Tahun 1999. Hal ini dianggap penting karena seorang arbiter
haruslah mereka yang independen, dalam ari tidak memiliki ikatan tertentu
dengan institusi pemerintah seperti Hakim, jaksa, Panitera dan pejabat
peradilan lainnya.hal ini dimaksudkan agar terjamin adanya objektifitas dalam
pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Pembatasan
ini dilakukan karena kedudukan hakim, jaksa dan panitera, dan pejabat peradilan
lainnya adalah sebagai pejabat public dan jabatan tersebut berkaitan secara
langsung dengan pemerintah sedangkan lembaga arbitrse bukanlah lembaga yang
dimiliki oleh pemerintah, sehingga sudah tepat apabila orang-orang yang
memiliki jabatan tersebut tidak diperbolehkan untuk menjadi arbiter. Seorang
arbiter dipilih sendiri oleh para pihak yang akan melakukan penyelesaian
melalui arbitrase, apabila para pihak tersebut kesulitan dalam memilih seorang
arbiter maka ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU No 30 Tahun 1999 menyebutkan, Ketua
Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang arbiter atau majelis arbiter.
Penunjukan
arbiter dilakukan dengan cara berikut :
a.
Arbiter Tunggal. Penunjukkan seseorang sebagai arbiter tunggal harus merupakan
persetujaun dari pemohon dan termohon. Apabila pemohon dan termohon tidak
mencapai kata sepakat, penunjukkan arbiter tunggal di tetapkan oleh BAPMI
(Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia).
b.
Majelis Arbitrase. Pemohon dan termohon menunjuk arbiternya masing-masing
selanjutnya kedua arbiter tersebut memilih arbiter ketiga sebagai Ketua Majelis
yang di tetapkan oleh BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia).
F. Acara
Pemeriksaan Arbitrase
Proses
penyelesaian sengketa di lembaga arbitrase hampir sama dengan proses
penyelesaian sengketa di pengadilan negeri, yaitu adanya prosedur beracara.
Namun, proses beracara di lembaga arbitrase jauh lebih sederhana. Arbitrase
adalah pemeriksaan sengketa yang bersifat tertutup dan hanya dapat dihadiri
oleh pihak-pihak yang bersengketa dan kuasanya. Hal ini lebih menegaskan sifat
kerahasiaan penyelesaian arbitrase. Pemeriksaan perkara secara arbitrase
berbeda dengan acara pemeriksaan pada Pengadilan Negeri.
Perbedaan-perbedaan
itu antara lain:
a.
Adanya jaminan kerahasiaan sengketa para pihak
b.
Dapat terhindar dari keterlambatan yang diakibtakan karena hal prosedural dan
administratif
c.
Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan.
d.
Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui
tata cara sederhana saja ataupun prosedur langsung dapat dilaksanakan.
e.
Adanya jangka waktu yang pasti yaitu 180 hari (Pasal 48 ayat (1)), tetapi dapat
diperpanjang apabila disepakati oleh para pihak terlebih dahulu.
Para
pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan
acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam UU No 30 Tahun 1999. Hal-hal yang dilakukan
oleh pemohon dan termohon arbitrase adalah :
a.
Pemohon membuat surat tuntutan kepada arbiter atau majelis arbiter
b.
Arbiter atau majelis arbiter lalu memberikan salinan atas tuntutan tersebut
kepada termohon.
c.
Jawaban termohon yang diterima arbiter atau majelis arbiter diteruskan kembali
kepada pemohon.
d.
Arbiter atau majelis arbiter lalu memerintahkan para pihak hadir pada sidang
pertama.
e.
Jawaban atas tuntutan yang diajukan termohon dapat sekaligus dijadikan tuntutan
balasan oleh termohon. Tuntutan balasan tersebut akan diperiksa oleh arbiter
atau majelis arbiter bersama-sama dengan pokok perkara.
f.
Pemohon dapat melakukan pencabutan permohonan tersebut apabila belum ada
jawaban dari termohon atas tuntutanya. Sebaliknya, apabila termohon sudah
memberikan jawabab atas tuntutan dari pemohon, pemohon tidak dapat lagi
memcabut tuntutannya.
g.
Pemohon hanya dapat mengubah atau menambah surat tuntutannya apabila penanbahan
atau perubahan tuntutan tersebut mendapat persetujuan dari termohon dan hanya
merupakan hal yang bersifat fakta bukan hal-hal yang menjadi dasar dari
permohonan.
h.
Apabila pihak termohon tidak datang pada sidang arbitrase, termohon akan
dipanggil sekali lagi. Konsekuensi atas tidak hadirnya termohon pada sidang
arbitrase adalah ditundanya sidang tersebut, tetapi setelah dipanggil secara
patut dan tetap saja tidak datang maka sidang diteruskan dan akibatnya tuntutan
pemohon arbitrase akan dikabulkan.
i.
Apabila pemohon yang tidak hadir pada hari pertama sidang, maka permohonan
arbitrase dinyatakan gugur dan sidang arbitrase dinyatakan selesai.
j.
Apabila para pihak semuanya hadir, arbiter atau majelis arbiter mengusahakan
perdamaian para pihak dahulu, jika berhasil damai maka dibuat akta perdamaian.
k.
Sebaliknya apabila tidak tercapai perdamaian, maka arbiter atau majelis
arbitrase akan memeriksa pokok sengketa yang terjadi diantara para pihak.
Pada
penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, tuntutan atau jawaban atau
suatu tuntutan berdasarkan hokum dan fakta-fakta. Para pihak harus dapat
menguatkan dasar hokum dan fakta-fakta yang diajukan dengan mengajukan saksi. Saksi
dalam hal ini adalah mereka yang mengetahui secara langsung pasti peristiwa
yang terjadi. Saksi dapat dilibatkan pada sengketa arbitrase yang sedang
diperiksa hanya apabila diperintahkan oleh arbiter, majelis arbitrase atau
permintaan para pihak.
Saksi
atau saksi ahli yang akan memberikan keterangan wajib disumpah terlebih dahulu.
Keterangan yang diberikan oleh saksi ahli dapat diberikan secara tertulis
kepada arbiter atau majelis arbitrase. Terhadap keterangan tertulis yang
disampaikan oleh saksi ahli, arbiter atau majelis arbitrase akan meneruskan
berupa salinan kepada para pihak. Saksi ahli yang telah memberikan keterangan
secara tertulis dapat diminta hadir pada persidangan untuk didengar keterangannya.
Arbiter
atau majelis arbitrase dalam memutuskan sengketa tidak hanya berdasarkan pada
argumen-argumen atau fakta-fakta yang diajukan para pihak, tetapi juga
berdasarkan pendapat saksi dan saksi ahli.
Arbiter atau
majelis arbitrase menganggap bahwa segala keterangan dari saksi-saksi dan dari
para pihak yang didukung oleh bukti-bukti dinilai cukup, arbiter atau majelis
arbitrase dapat memutuskan untuk menutup pemeriksaan dan kemudian menetapkan
sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase.
Putusan
dari lembaga arbitrase mempunyai mempunyai kekuatan mengikat dan bersifat final
sehingga secara yuridis meniadakan hak dari masing-masing pihak yang
bersengketa untuk mengajukan banding atau upaya hukum lainnya. Dalam putusan
arbitrase dicantumkan jangka waktu terhadap pelaksanaan putusan yaitu dalam
jangka waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan atas sengketa tersebut
ditutup dan dalam jangka 14 hari setelah putusan diterima oleh para pihak. Hal
ini akan memberikan kepastian bagi para pihak yang bersengketa untuk
menjalankan putusan arbitrse tersebut.
1. Pelaksanaan
Putusan Arbitrase
Setelah
pemeriksaan sengketa arbitrase selesai dilakukan dan putusan telah diberikan
oleh arbiter atau Majelis arbitrase, tahap selanjutnya adalah pelaksanaan dari
putusan arbitrase tersebut. Pelaksanaan putusan arbitrse terdiri atas dua jenis
sebagai berikut :
a.
Putusan arbitrase nasional
b.
Putusan dari arbitrase internasional.
Sebelum putusan
dari arbitrase nasional dilaksanakan,langkah pertama yang harus dilakukan
adalah, mendaftarkan putusan arbitrase tersebut ke Panitera Pengadilan Negeri.
Putusan arbitrase apabila tidak didaftarkan ke Pengadilan Negeri putusan
arbitrase itu tidak dapat dilaksanakan. Putusan arbitrase tersebut meskipun
bersifat final dan mengikat para pihak, ada kemungkinan salah satu pihak tidak
berkenan melaksanaknnya dan untuk mengantisipasinya, Pasal 61 UU No 30 Tahun
1999 memberikan ketentuan bahwa,
“Dalam hal para
pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan
berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak
yang bersengketa”.
Sedangkan
terhadap putusan dari arbitrase internasional, yang berwenang untuk menangani
masalah pengakuan dan pelaksanannya adalah Pengadilan Negeri dan hanya dapat
dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia. Ketua Pengadilan Negeri
memiliki hak menolak atau menerima permohonan pelaksanaan putusan arbitrase,
apabila permohonan diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri, pihak yang tidak
bersedia untuk menerima pelaksanaan putusan arbitrase tersebut tidak dapat
mengajukan banding atau kasasi. Sebaliknya, apabila permohonan tersebut di
tolak oleh Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap penolakan tersebut pihak
pemohon dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Setelah
permohonan tersebut diterima, Mahkamah Agung akan memutuskan akan menerima atau
menolak permohonan tersebut. Terhadap putusan yang diberikan oleh Mahkamah
Agung, tidak dapat diajukan upaya perlawanan misalnya peninjauan kembali. Pelaksanaan
putusan arbitrase membutuhkan pengadilan agar putusan arbitrase tersebut dapat
dieksekusi dan pada umumnya pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk
memeriksa kembali putusan arbitrase. Hal ini bertentangan dengan diterbitkannya
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 8 Tahun 2008 tentang eksekusi Putusan
Badan Arbitrase Syariah (SEMA No 8 Tahun 2008) yang pada angka 4 menyebutkan
bahwa ;
“Dalam hal
putusan badan arbitrase syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka
putusan tersebut dlaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan yang
berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”.
SEMA No 8 Tahun
2008 di atas bertentangan dengan sifat dari arbitrase itu sendiri, menyadari
hal tersebut Mahkamah Agung RI pada tahun 2010 mengeluarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung RI No 8 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa angka 4 SEMA No 8 tahun
2008 tidak berlaku sehingga para pihak tidak perlu khawatir sengketa mereka
yang diselesaikan melalui BASYARNAS tidak dapat dijalankan oleh pengadilan
Agama.
G. Contoh Permasalahan
Di
Indonesia sendiri, minat untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase
ini meningkat semenjak diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Adapun
beberapa hal yang menjadi keuntungan Arbitrase dibanding-kan menyelesaikan
sengketa melalui jalur litigasi adalah :
1) Sidang
tertutup untuk umum ;
2) Prosesnya
cepat (maksimal enam bulan) ;
3) Putusannya
final dan tidak dapat dibanding atau kasasi ;
4) Arbiternya
dipilih oleh para pihak, ahli dalam bidang yang disengketakan, dan memiliki
integritas atau moral yang tinggi ;
5) Walaupun
biaya formalnya lebih mahal daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada
'biaya-biaya lain' ; hingga
6) Khusus di Indonesia, para pihak dapat
mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis Arbitrase dan Majelis Arbitrase
dapat langsung meminta klarifikasi oleh para pihak. Dalam ruang lingkup
internasional, Indonesia maupun pihak-pihak dari Indonesia juga acap kali
menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase.
Beberapa contoh
kasusnya adalah :
1.
Sengketa antara Cemex Asia Holdings melawan Indonesia yang diselesaikan melalui
International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) pada 2004
sampai 2007 ;
2.
Sengketa antara Pertamina melawan Commerz Asia Emerald yang diselesaikan
melalui Singapore International Arbitration Center (SIAC), Singapore pada tahun
2008 ;
3.
Sengketa terkait Bank Century dimana dua pemegang sahamnya menggugat Pemerintah
Indonesia yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq yang diselesaikan melalui
ICSID, Singapore ; hingga
4.
Sengketa antara Newmont melawan Pemerintah Indonesia yang diselesaikan di
ICSID, Washington DC.
5.
Di tahun 2013, kerjasama Indosat dengan IM2 mengenai dugaan kasus korupsi
frekuensi 2,1 Ghz atau 3G terus memanas. Kasus ini sudah memutuskan mantan
direktur utama IM2 Indar Atmanto sebagai tersangka. Kasus ini juga direncanakan
akan dibawa ke pengadilan arbitrase internasional. Namun, langkah ini dinilai
hanya mempermalukan nama Indonesia di mata dunia.
BAB IV
PENUTUP
3.1 Simpulan
Sengketa
dan perselisihan kerap kali terjadi, terutama dalam dunia bisnis. Secara umum,
masyarakat Indonesia menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah dan
menjadikan para tetua adat sebagai penengah atas sengketa yang terjadi. Namun,
seiring dengan semakin majunya peradaban, ada kecenderungan menggunakan lembaga
pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Meskipun demikian,
lamanya proses pengadilan dan biaya yang relatif besar menjadi hambatan dalam
menyelesaikan sengketa. Oleh karena itu, diperkenalkan alternatif untuk
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, yakni melalui negosiasi, mediasi,
konsiliasi dan arbitrase.
Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan berlaku untuk sengketa-sengketa di bidang
keperdataan yang menyangkut hubungan hukum antara pihak yang satu dan pihak
yang lain. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan memiliki kelebihan, yaitu
tidak terbuka untuk umum, biaya yang lebih murah,bersifat win-win solution,dan
fleksibel dibandingkan dengan lembaga peradilan.
3.2
Saran
Melalui peradilan arbitrase memang memiliki banyak
kelebihan, di samping itu masyarakat tetap dihimbau untuk tetap menaati segala
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak menutup kemungkinan di
peradilan arbitrase bisa terjadi oknum-oknum hukum yang menyelewengkan hak dan
kewajiban mereka untuk keuntungan pribadi semata. Untuk pemerintah harus lebih
tegas lagi dalam membuat keputusan khususnya jika ada permsalahan yang
menyangkut dunia bisnis di tanah air agar tidak menjadi aib bagi Republik
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Asyhadie,
Zaeni. 2005. Hukum Bisnis (Prinsip dan
Pelaksanaannya Di Indonesia).
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Gautama,
Sudargo. 1990. Hukum Dagang &
Arbitrase Internasional.
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Gautama,
Sudargo. 2004. Arbitrase Luar Negeri dan
Pemakaian Hukum Indonesia.
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Harahap,
M.Yahya. 2004. Arbitrase. Jakarta : SINAR GRAFIKA.
Widjaja,
Gunawan & Ahmad Yani. 2003. Hukum
Arbitrase.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
0 comments:
Posting Komentar