Promosi Produk

Selamat Datang Di Blog Kami, Semoga Bermanfaat..

Segmentasi Pasar

Selamat Datang Di Blog Kami, Semoga Bermanfaat..

Afiliasi Marketing

Selamat Datang Di Blog Kami, Semoga Bermanfaat..

Google Adsense

Selamat Datang Di Blog Kami, Semoga Bermanfaat..

BLOGGING

Selamat Datang Di Blog Kami, Semoga Bermanfaat..

Kamis, 22 September 2016

PERMASALAHAN DALAM MENGAKTUALISASIKAN JATIDIRI KOPERASI



PENDAHULUAN
Bagian pendahuluan dalam makalah ini menguraikan tentang latar belakang, rumusan dan tujuan masalah. Paparan lebih lanjut sebagai berikut.
A.    Latar Belakang
Jatidiri koperasi bukan merupakan hal yang asing bagi orang yang berinteraksi dengan koperasi. Karena jatidiri merupakan hal yang penting dan mendasar dalam sebuah usaha koperasi. Anggota koperasi pun sudah seharusnya mengetahui tentang jatidiri koperasi dengan baik.
Jatidiri koperasi dengan segala aspeknya, merupakan hal yang akan membuat koperasi berkembang apabila diterapkan dengan baik. Jatidiri koperasi merupakan hal yang pokok dalam membedakan koperasi dengan badan usaha lainnya. Namun yang terjadi selama ini jatidiri koperasi hanya sekedar dijadikan topik pembicaraan dan pembahasan tertulis tanpa ada tindak lanjut mengenai aktualisasinya. Tidak hanya di Indonesia, namun juga di tingkat dunia, koperasi belum banyak dikenal dan dipahami dalam arti sesungguhnya. Banyak anggapan yang kurang benar mengenai koperasi. Tentu saja hal ini tidak lepas dari bagaimana para pelaku koperasi menjalankan jatidiri koperasi dengan benar.
Dapat dikatakan bahwa koperasi belum dapat menancapkan citra koperasi yang sebenarnya pada benak masyarakat. Harus diakui bahwa sampai saat ini gerakan koperasi belum mampu dengan efektif menyampaikan pesan-pesan tentang elemen koperasi dan perannya dalam masyarakat. Agar nilai koperasi yang sesungguhnya baik dari segi ekonomi maupun sosial dapat tersampaikan penyampaian tersebut harus berdasarkan fakta dan keadaan yang terjadi di operasional koperasi.
Oleh karena itu perlu kiranya dikaji lebih lanjut mengenai permasalahan dalam mengaktualisasikan jatidiri koperasi sehingga dapat dijadikan pembelajaran dan teladan bagi koperasi lain yang mungkin masih menyimpang dari jatidiri koperasi
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana pengertian dari jatidiri koperasi?
2.      Bagaimana penyebab terjadinya permasalahan dalam mengaktualisasikan jatidiri koperasi?
3.      Bagaimana cara mengatasi permasalahan dalam mengaktualisasikan jatidiri koperasi?
C.    Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan makalah ini sebagai berikut.
1.      Agar pembaca mengetahui pengertian jatidiri koperasi.
2.      Agar pembaca mengetahui penyebab terjadinya permasalahan dalam mengaktualisasikan jatidiri koperasi.
3.      Agar pembaca mengetahui cara mengatasi permasalahan dalam mengaktualisasikan jatidiri koperasi.
PEMBAHASAN
Bagian pembahasan dalam makalah ini menguraikan tentang pengertian jatidiri koperasi, penyebab terjadinya permasalahan dalam mengaktualisasikan jatidiri koperasi, dan cara mengatasi permasalahan dalam mengaktualisasikan jatidiri koperasi. Paparan lebih lanjut sebagai berikut
A.    Jatidiri Koperasi
Jati Diri adalah kekhasan, keunikan yang membedakan yang satu dengan yang lainnya. Jati diri koperasi berarti koperasi adalah wadah pemberdayaan sosial-ekonomi masyarakat yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan badan usaha lainnya. Berbicara tentang jati diri koperasi berarti membicarakan hal yang bersifat mendasar dan penting menyangkut koperasi. Mendasar lantaran jati diri koperasi merupakan kepribadian yang memberikan indentitas dan dengan identitasnya membedakan koperasi dengan yang lain. Penting karena diharapkan dengan bertumpu pada kepribadian yang dimilikinya justru koperasi memiliki daya dan bukan kelemahan untuk dapat tumbuh dan berkembang pada masa depan terutama menghadapi perubahan-perubahan dalam era iklim dunia usaha yang semakin kompetitif (Nirbito, 2001: 17).
Jati diri koperasi yang telah dirumuskan oleh International Cooperative Alliance (ICA), mencakup tiga bagian yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi satu kesatuan yang utuh terdiri atas definisi (organisasi), nilai-nilai dan prinsip-prinsip. Organisasi (definisi) bagaikan tubuh, nilai-nilai adalah roh dan prinsip-prinsip adalah tingkah laku (Soedjono, 2007: 5-7). Lebih lanjut, Soedjono yang adalah salah seorang pakar koperasi Indonesia menjelaskan bahwa yang membedakan koperasi dengan badan usaha lainnya terletak pada definisi koperasi itu sendiri yang menyebutkan sebagai perkumpulan orang dengan ciri kolektif, bermotifkan optimalisasi mutu pelayanan. Ciri khusus koperasi adalah pelanggan sekaligus anggota. Dalam kegiatan koperasi senantiasa mendasarkan diri pada nilai-nilai seperti: swadaya, tanggungjawab sendiri, demokrasi, kebersamaan, keadilan, kejujuran, keterbukaan, kesetiakawanan, tanggungjawab sosial dan kepedulian terhadap orang lain.
Pengurus yang memperoleh mandat untuk melaksanakan organisasi dan usaha koperasi memiliki kewajiban utama utnuk mengaktualisasikan jati diri koperasi dalam keseluruhan kehidupan koperasi. Pengawas sebagai partner pengurus diharapkan mendukung program-program pengaktualisasian jati diri koperasi. Anggota sebagai basis pengembangan koperasi, pemahaman dan internalisasi jati diri koperasi perlu melekat dengan kuat (Sutrisno, 2011: 7).
Pemahaman jati diri koperasi baik oleh pengurus, pengawas, pengelola maupun anggota sudah semestinya melekat pada masing-masing perangkat yang mengembangkan koperasi. Ilustrasi penempatan jati diri koperasi sebagai berikut (Nirbito, 2007: 5-7; Sutrisno, 2011: 7-8):
1.      Pengertian koperasi melekat pada pikiran. Lekatnya pengertian koperasi pada pikiran dengan pemahaman ciri-ciri spesifik yang menjadi koridor pengembangan koperasi. Pemahaman yang optimal akan berpengaruh pada citra positif koperasi.
2.      Nilai-nilai yang melekat di hati. Lekatnya nilai-nilai koperasi di hati berarti nilai-nilai dimaksud merupakan kebutuhan yang mesti diamalkan. Pengamalan yang kurang memadai nilai-nilai tersebut maka koperasi tidak akan berkembang secara berkelanjutan.
3.      Prinsip-prinisip koperasi yang melekat pada tangan dan kaki untuk diaktulisasikan dalam bentuk perbuatan. Tanpa perbuatan prinsip-prinisip tersebut bagaikan tubuh tanpa roh sehingga pertumbuhan dan perkembangannya akan stagnan, jalan di tempat.
Tujuh (7) prinsip koperasi adalah keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela; pengendalian organisasi oleh anggota; partisipasi ekonomi anggota; otonom dan kebebasan; pendidikan, pelatihan sebagai dasar kekuatan; kerjasama diantara koperasi dan kepedulian terhadap komunitas untuk memelihara kehidupan lingkungan yang berkelanjutan (Soedjono, 2007: 35-36).
Merujuk pada berbagai pandangan dan pendapat para pakar dapat disimpulkan bahwa jati diri merupakan keunikan atau kekhasan koperasi termasuk koperasi kredit dengan lembaga usaha lainnya. Jati diri mencakup definisi, nilai dan prinsip yang merupakan satu kesatuan terintegral secara utuh dalam lembaga koperasi. Jati diri bagaikan roh dan jiwa bangunan tubuh koperasi dalam menjalankan segala proses pengembangannya.

B.     Penyebab Permasalahan Dalam Mengaktualisasikan Jatidiri Koperasi
Menurut Soedjono (2001), konsep murni dari koperasi berbeda dalam prakteknya di lapangan sehingga menyebabkan koperasi mengalami krisis jatidiri, hal ini disebabkan oleh:
1.      Lemahnya pemahaman dan kesadaran anggota-anggota dan pemimpin-pemimpin koperasi akan makna dan jatidiri koperasi. Banyak diantara mereka yang masuk menjadi anggota koperasi karena mengharapkan fasilitas dan kemudahan-kemudahan. Kondisi ini membuat koperasi mudah larut dalam arus lingkungan negara maju ekonomi dan sosial yang seharusnya dikoreksi oleh konsep koperasi.
2.      Lemahnya dan tidak efektifnya UU yang mengatur kegiatan koperasi maupun peran pemerintah. UU No. 25 Tahun 1992 “melucuti” wewenang pemerintah dan tidak memberi sanksi terhadap pelanggaran.
3.      Pemerintah yang menjadi pelaksana ketentuan UU Perkoperasian cenderung tidak konsisten melaksanakan kewajiban dan tugas yang dibebankan oleh UU tersebut. Dalam prakteknya, Departemen yang membidangi koperasi lebih bersemangat menggerakkan usaha koperasi daripada membangun koperasi itu sendiri dalam arti organisasi dan manajerial. Banyak orang yang tidak memahami bahwa organisasi adalah modal utama koperasi untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha yang benar.
Soedjono (2000) mengatakan bahwa UU No. 25 tahun 1992 sebagai dasar hukum peran dan wewenang pemerintah dalam keterlibatannya dengan kehidupan perkoperasian secara formal telah menciptakan debirokratisasi, akan tetapi pada kenyataannya (karena dukungan politik riil), pemerintah justru mengenggam kekuasaan (operasional) yang sangat besar. Fungsi-fungsi utama yang melekat pada setiap pemerintah, regulator (pengaturan) dan developmental (pembangunan), dikembangkan sangat jauh dan luas. Sepertinya pemerintah berniat untuk menjadi “lokomotif” pembangunan untuk selama-lamanya.
Di Indonesia, karena kekeliruan dan lemahnya kesadaran akan watak dan tujuan sosial koperasi, maka banyak koperasi didorong untuk lebih berorientasi pada profit sehingga kita sulit membedakan perusahaan koperasi dengan perusahaan swasta. Koperasi memang memerlukan laba untuk tujuan investasi, peningkatan pelayanan, dan sebagainya, tetapi tidak bermotifkan laba. Dalam sistem koperasi, kedudukan manusia ditempatkan di atas modal. Koperasi memang bekerja dengan modal, tetapi bukan untuk modal dan pemodal. Kesalahan dan kelemahan kita berkoperasi pada umumnya berpangkal pada pemahaman yang melihat koperasi sekedar dalam arti organisasi, bukan dalam arti jatidirinya sebagai suatu keutuhan. Kendala besar dalam upaya mengatasi krisis jatidiri ini adalah tidak adanya persamaan persepsi perkoperasian di sektor koperasi, antar-gerakan koperasi sendiri, dan antar gerakan dengan pemerintah. Tampaknya “semangat koperasi” di kalangan kita sedang mengalamui kelumpuhan. Soedjono menambahkan, sumber utama dari krisis jatidiri koperasi adalah:
1.      Krisis Ideologi. Motif pelayanan telah berubah menjadi motif motif mengejar keuntungan dengan meninggalkan prinsip-prinsip koperasi.
2.      Krisis Kepemimpinan. Gerakan koperasi cenderung merupakan gerakan ekonomi dan sosial yang lemah dan golongan miskin sehingga tidak cukup menghasilkan pimpinan yang memenuhi syarat yang diperlukan dalam suatu gerakan koperasi. Hal ini memungkinkan masuknya pimpinan dari luar yang dindang, tidak diundang, maupun di-drop oleh pemerintah sehingga berdampak pada KKN.
3.      Krisis Kepercayaan. Budaya Indonesia selalu mementingkan adanya panutan dan teladan. Dalam hal ini, pengurus selalu diharapkan dan dituntut untuk menjadi panutan. Penyelewengan yang dilakukan pengurus membuat mereka kehilangan kepercayaan dari anggotanya, sehingga anggota tidak lagi percaya terhadap koperasi secara keseluruhan.
Meski telah disepakati selama hampir 21 tahun sejak disahkannya pada tahun 1995, Jatidiri Koperasi ICA belum dipahami secara luas, apalagi diterapkan dalam praktek kehidupan perkoperasian di Indonesia. Demikian pula dalam rangka perumusan kebijakan pengembangan koperasi oleh pemerintah, Jatidiri Koperasi juga masih sangat terbatas digunakan sebagai dasar/pedoman kebijakannya. Sosialisasi Jatidiri Koperasi ICA sebenarnya pernah dilakukan secara intensif (2001-2003) oleh LSP2I (Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia) di berbagai kota di Indonesia, tetapi karena lembaga ini semata berfungsi sebagai "think tank", yang tidak mempunyai otoritas untuk menjadikan ketentuan tersebut sebagai pedoman yang harus dilaksanakan, maka tindak lanjut pelaksanaannyapun masih terbatas. LSP2I mengemukakan beberapa penyebab keterbatasan implementasi ICA Statement dalam perundangan dan kebijakan pemerintah, yaitu:
a.       Belum optimalnya kerjasama antara pemerintah dan gerakan koperasi.
b.      Pemerintah (Kementerian Koperasi & UKM) kurang mensosialisasikan Jatidiri Koperasi di kalangan instansi-instansi pemerintah, khususnya yang mempunyai peranan dalam pembangunan koperasi. (Resolusi Konferensi Menteri-menteri Koperasi se-Asia Pasifik 1997).
c.       Sehubungan dengan berlakunya UU otonom; belum ada ketentuan mengenai pengembangan koperasi yang berjatidiri, yang berlaku secara nasional.
d.      Pemerintah belum membuat UU serta peraturan/kebijakan pembinaan koperasi yang secara konsisten berdasarkan Jatidiri Koperasi ICA (ICIS).
e.       Dalam upaya membangun koperasi yang sehat dan mandiri, dukungan pemerintah belum ditujukan pada penguatan kelembagaan (organisasi dan manajemen usaha).
f.       Antara pemerintah dan gerakan koperasi tidak memiliki persepsi/pemahaman dan penafsiran yang sama terhadap Jatidiri Koperasi sebagai oasis bagi kemitraan dalam pembangunan Koperasi secara nasional. Kebijakan pembangunan koperasi nasional ini seharusnya dituangkan dalam "Kebijakan Nasional Pembangunan Koperasi", yang memuat apa yang harus dilakukan gerakan dan apa yang harus dilakukan pemerintah.
Menurut Djohan, terdapat dua kelemahan koperasi Indonesia. Pertama, kurangnya pemahaman secara cermat terhadap UU No.25/1992 oleh pada stakeholder (pemangku kepentingan) dari pusat sampai ke daerah, baik di jajaran birokrasi maupun gerakan koperasi yang seharusnya punya standar komitmen yang sama. Penjabaran lebih lanjut pada produk hukum sebagai peraturan pelaksanaan dari UU yang kedudukannya lebih tinggi itu, semisal PP/Keppres/Inpres/Permen bahkan AD koperasi sebagai aturan internal, dalam pasal-pasalnya, seharusnya tidak menimbulkan interpretasi ganda alias salah tafsir. Berdasarkan pengamatan, terjadinya anomali kebijakan ekonomi era Orba berakibat pada pemahaman yang salah tafsir terhadap UU No.12/1967. Berbagai kebijakan yang bersumber pada UU itu cenderung menganakemaskan (lebih tepat meninabobokkan) KUD. Kurang lebih seperempat abad pembinaan KUD tidak berkibar jaya, justru sebaliknya meninggalkan stigma citra buruk koperasi. Kemudian dengan UU No.25/1992, eksistensi koperasi masih terseok-seok. Lebih menyedihkan banyak terjadi penyimpangan secara prinsipial terhadap jatidiri koperasi. Kedua, warisan hegemoni kekuasaan Orba dampaknya masih terasa. Kebijakan pembinaan dan pengembangan koperasi masih terasa adanya nuansa "mencampuri urusan internal koperasi" sehingga prinsip kemandirian jauh panggang dari api. Menghadapi ragam akar permasalahan seperti itu perlu revitalisasi kelembagaan dan mengembalikan pada jatidiri koperasi yang sejati. Seringkali kita melihat fakta empiris tentang titik-titik lemah kelembagaan koperasi. Anggota yang punya peran ganda (sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa) tidak pernah memegang AD dan/atau ART sebagai aturan main dalam berkoperasi. Mereka pasif, sementara pengurus membiarkan kondisi tersebut.
Kelemahan di titik kelembagaan lainnya adalah banyak koperasi yang tidak melakanakan "demokrasi tahunan", termasuk banyak KUD pasca Inpres No.18/1998 tidak lagi menjadi "anak emas" pemerintah, malah sangat memprihatinkan. Lebih parah lagi ada KSP yang RAT-nya tanpa menghadirkan anggota dan LPJ-nya cukup dikirim ke pejabat Diskop. Banyak lagi fakta kelemahan koperasi yang ujung-ujungnya cita-cita menjadikan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional, semakin jauh dari jangkauan. Padahal kedudukan koperasi sebagai badan usaha maupun gerakan ekonomi rakyat punya peran sangat strategis dan menjadi bagian integral dari tata perekonomian nasional. Dekopin yang dibentuk secara legitimed merupakan organisasi tunggal gerakan koperasi, semakin jauh ditinggal anggotanya. Sebaliknya, gerakan koperasi cenderung dekat dan ketergantungan pada pemerintah. Dikhawatirkan, muncul ketergantungan yang berdampak terpolanya karakter koperasi yang tidak pernah mandiri dan dengan sendirinya kehilangan jatidirinya.
Mungkin perbedaan yang paling besar antara koperasi di negara-negara lain, khususnya negara maju, dengan di Indonesia adalah bahwa keberadaan dan peran dari koperasi di Indonesia tidak lepas dari ideologi Pancasila dan UUD 45, yakni merupakan lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara (Hariyono dalam Tambunan, 2008).
Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu:
(i)                 Program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD
(ii)               Lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan
(iii)             Perusahaan baik milik negara (BUMN) maupun swasta (BUMS) dalam koperasi karyawan sehingga prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya. Intervensi dari pemerintah yang terlalu besar adalah salah satu penyebab utama lambatnya perkembangan koperasi di Indonesia. Selama ini koperasi dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia.

C.    Cara mengatasi permasalahan dalam mengaktualisasikan jatidiri koperasi.
Pentingnya koperasi kembali ke jatidirinya, juga relevan semakin terbukanya pasar dalam negeri melalui aplikasi era perdagangan bebas. Perubahan itu akan melegalisasi tumbuhnya persaingan yang semakin tajam diantara pelaku ekonomi dalam meraih pangsa pasar, terutama dengan memanfaatkan sarana yaitu keunggulan komparatif dari masing-masing pelaku ekonomi tersebut. Sehubungan dengan hal itu, apabila pembahasan telah menyentuh aspek pangsa pasar, maka materinya sejauh mungkin perlu dikaitkan dengan pemanfaatan jatidiri organisasi yang dapat mendukungnya untuk menghasilkan secara efektif kombinasi dari beberapa komponen pokok, yaitu: (a) produk/ jasa yang dijual, (b) kegiatan untuk menghasilkan produk atau untuk melayani kebutuhan anggota, serta (c) konsumen sebagai sasarannya. Dengan cara seperti itu proses kembalinya koperasi kepada jatidirinya, akan meliputi proses pelaksanaan dari aplikasi pemanfaatan kembali ciri-ciri organisasi koperasi , yang menjadi salah satu faktor unggulannya dalam praktek di masa mendatang.
Secara menyeluruh, organisasi formal yang berfungsi memantau konsisten dan ketepatan aplikasi identitas koperasi dan sekaligus melakukan promosi dan advokasinya, adalah Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN). DEKOPIN dalam fungsinya memperjuangkan kelangsungan aplikasi ciri-ciri identitas organisasi dimaksud, sedang dalam tingkat mikro atau operasional teknis dilapangan secara langsung dan sepenuhnya diserahkan kepada kearifan atau kedewasaan dari koperasi-koperasi (primer dan skunder) yang menjadi anggotanya. DEKOPIN memberi arah yang dapat menjadi acuan untuk memantapkan pembinaan kelembagaan koperasi yang mampu mendukung intensifnya pelaksanaan kegiatan usaha dalam kelompok masyarakat bersangkutan. Dengan demikian pada tingkat makro hal itu diharapkan akan dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan berbagai kekuatan koperasi, yang dapat mendukung penempatannya pada posisi sebagai satu kesatuan organisasi dalam jajaran nilai-nilai sistem perekonomian nasional (dalam lingkup politik ekonomi). Sebagai satu wadah kegiatan gerakan koperasi (cooperative movement), DEKOPIN juga memiliki tugas pokok: berjuang melindungi para anggotanya. Selain dengan kegiatan promosi dan advokasi, DEKOPIN juga harus mampu mengembangkan pola dan program pendidikan dan pelatihan yang efektif bagi para anggotanya dan demi kemajuan perkoperasian nasional. Dewan ini pula yang mengembangkan dan menyelenggarakan hubungan internasional secara konsisten antara koperasi-koperasi primer dengan asosiasi atau mancanegara. Hal itu dilakukan dengan tujuan membina terwujudnya kerjasama yang bermanfaat bagi tumbuh-kembangnya jajaran koperasi Indonesia pada umum.
Perubahan tuntutan dari lingkungan dunia usaha terhadap koperasi, yang indikasinya pada hakekatnya telah muncul sejak awal Repelita III yang lalu, atas posisi koperasi dalam statusnya sebagai sarana bagi rakyat kecil untuk melaksanakan kegiatan ekonomi yang layak. Kegiatan usaha tersebut harus dapat dilakukan oleh koperasi terutama untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya. Karena itu ukuran keberhasilan kegiatannya harus mengacu pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran para anggotanya melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia dengan efektif dan eflsien. Itulah salah satu bentuk aplikasi identitas koperasi. Sementara itu di sisi lain, koperasi juga diharapkan mampu menerapkan serangkaian langkah yang berorientasi pada aplikasi asas kekeluargaan. Hal itu sedikit banyak nampak berbau sosial, yang oleh berbagai pihak tertentu banyak dianggap mempunyai dampak berupa upaya-upaya penyelesaian masalah-masalah bisnis. Implementasi makna pasal 33 yang memanfaatkan dua nilai ganda pada koperasi ternyata dapat dikembangkan saling mendukung dan saling mengisi satu sama lain, sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang berbeda nyata sifatnya di banding lembaga-lembaga pelaku ekonomi lainnya. Itulah yang menjadi keunggulan komparatif bagi koperasi, yang akan menambah semakin kuatnya proses aplikasi dari aspek sosial yang terintegrasi dalam aspek usaha.
Pertama, pemahaman dapat dimulai dengan menguasai pengertian koperasi. Dalam hubungan itu koperasi harus dipahami dan dimengerti dari proses pembentukannya. Sementara itu koperasi dibentuk dengan alasan dasar yang rasional sifatnya yaitu untuk secara bersama-sama memenuhi dan memecahkan berbagai masalah yang dapat memenuhi kebutuhan dalam bidang ekonomi, sosial, kultural termasuk aspirasi para pendiri dan anggota lainnya. Karena itu wajar apabila koperasi dimiliki sepenuhnya oleh para anggotanya, pada tingkatan dan luasan yang sama, sehingga akibatnya jasa dan kegiatan koperasi harus dapat dinikmati oleh anggota bersangkutan. Oleh karenanya koperasi harus dikelola secara demokratis, dalam pengertian bahwa kekuasaan tertinggi dalam kegiatan pengambilan keputusan di tingkat organisasi berada pada "lembaga rapat anggota", yang umumnya dilakukan setiap tahun, walaupun tidak tertutup kemungkinan dilakukan penyelenggaraan rapat anggota luar biasa. Dengan demikian tidak salah kalau koperasi dinyatakan menjadi kumpulan orang-orang dan bukan kumpulan modal, yang menjadi ciri PT atau badan hukum lainnya. Karena sebagai kumpulan orang-orang maka berlaku hukum one man one vote. Hal itu mempunyai konsekuensi pada aplikasi program penyertaan dana (saham) pada ciri dan jiwa koperasi. Dengan demikian untuk mengukur keberhasilan koperasi, berarti harus mengukur bukan saja terwujudnya hal-hal atau kriteria yang diuraikan di muka, melainkan juga harus mengukur keeratan dan keterkaitan koperasi dengan anggotanya.
Kedua, ada komponen informasi lain yang menunjukkan adanya hubungan atau keterkaitan signifikan dan menjadi fondasi utama bagi sejumlah koperasi yang sukses. Ternyata hal itu telah diaplikasikan secara konsisten. Bisa jadi proses aplikasi tidak sepenuhnya di sadari telah dikembangkan oleh para pengurus atau manajemen sehingga memungkinkan terwujudnya sinergi yang positif dari komponen langkah tindakan dan keputusan mereka dan dukungan anggota koperasi bersangkutan serta kondisi lingkungan kerja yang kondusif. Hasilnya telah mendorong terbentuknya landasan pengembangan dan peningkatan kemampuan koperasi bersangkutan. Dengan terciptanya keeratan hubungan koperasi dengan para anggotanya, maka tumbuhnya kemampuan koperasi akan semakin dipicu, diantaranya dalam hal kemampuan: (a) peningkatan pelayanan kebutuhan ekonomi anggota; (b) pemanfaatan koperasi untuk menjual atau mengolah produk anggota; (c) pemanfaatan koperasi sebagai penyandang dana, dengan cara menggunakan kelebihan dana milik anggota yang disimpan pada KSP /USP; (d) pemanfaatan koperasi sebagai sumber kekuatan dalam bernegosiasi atau melakukan langkah-langkah bisnis lainnya. Kesemuanya itu tidak lain dimaksudkan agar dapat menunjukkan kepada kita semua, bahwa kegiatan pernbinaan yang dipusatkan pada aspek -aspek keunggulan komparatif dari organisasi koperasi perlu dirawat secara konsisten.
Ketiga, menyangkut aspek keanggotaan koperasi. Dalam hal ini secara khas koperasi memiliki kemampuan mengimplementasikan secara operasional pengertian bahwa anggota koperasi adalah pemilik sekaligus juga pengguna jasa dan produk koperasinya. Hal mana akan terwujud apabila anggota menunjukkan sikap loyal kepada koperasinya,yang dalam bahasa umum merasa memiliki koperasinya. Aplikasinya harus terwujud dalarn bentuk langkah terencana dan konkrit, seperti misalnya mengakumulasikan kelebihan dana untuk modal kegiatan usaha koperasi yang bermanfaat bagi pemenuhan kepentingan anggota, baik melalui pengaturan kembali simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela yang material sifatnya. Anggota juga dapat memanfaatkan jasa pelayanan lain seperti penyediaan bahan-bahan pokok atau distribusi produk untuk kepentingan usaha anggota. Sebaliknya dalam posisi dan kesempatan yang sarna, pengurus dan manajemen koperasi harus mampu menghasilkan pelayanan yang dapat memberikan manfaat konkrit, baik fisik ekonomis maupun psikologis. Misalnya melalui program potongan harga jual produk yang ditangani oleh koperasi, kemudahan untuk mendapatkan kebutuhan, kualitas yang lebih baik, dan lain sebagainya termasuk memberikan jaminan (sekuriti), cara penjualan prod uk anggota yang lebih baik, serta perlindungan dart kompetisi dan manfaat kualitatif lainnya. Oleh karena itu dalam upaya mengoptimalkan terwujudnya manfaat diantara kedua belah pihak komposisi kesamaan usaha dari kepentingan ekonomi dari anggotanya merupakan faktor penentu dalarn hal mudah atau tidaknya mengembangkan pelayanan terpadu yang optimal. Dengan demikian, koperasi secara konseptual akan berkembang relative lebih cepat, apabila homogenitas kepentingan dan kebutuhan anggota dapat dirumuskan untuk dipenuhi, dan bukan dikarenakan hanya oleh kemampuan koperasi bersangkutan memanfaatkan sumberdaya yang,tersedia bagi kegiatan usahanya. Koperasi dengan demikian bisa menjadi sukses, sebagai konsekuensi dari aplikasi pengertian para anggota koperasi sebagai pemilik, sekaligus sebagai pengguna jasa atau produk koperasinya. Mekanisme dan sekaligus tolok ukur keberhasilan pengelolaan kondisi seperti itu akan dapat dikenali dari berapa besar dan berapa banyak, kegiatan pelayanan yang dapat diberikan koperasi, yang kemudian dapat dinikmati oleh para anggotanya.
Keempat, berdasar pola transaksi seperti itu, maka konsekuensinya jenis atau bentuk koperasi yang paling dasar adalah koperasi produsen. Koperasi itu memiliki anggota yang sebagian besar atau semuanya adalah para produsen atau pengusaha penghasil produk. Jenis lainnya adalah koperasi konsumen, yaitu apabila anggotanya adalah para pengguna atau pemakai produk, baik hati itu untuk kepentingan konsumtif maupun untuk pemenuhan kebutuhan produktif. Dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian, dinyatakan dalam uraian penjelasan pasal 16 tentang jenis koperasi, bahwa akta jenis koperasi lain yang diakui, yang sebenarnya secara fungsional memiliki lingkup kegiatan yang tidak sepenuhnya sama atau setegas bentuk atau sifat dari jenis koperasi produsen atau koperasi konsumen, di samping ada pula penjenisan koperasi yang dikaitkan dengan macam kegiatan atau bersifat spesifIk, seperti misalnya koperasi simpan pinjam, koperasi jasa atau koperasi pemasaran, di samping koperasi pemuda, mahasiswa, wanita, pegawai negeri yang sifatnya fungsional dan lain-lainnya. Konsep koperasi harus kembali ke jatidirinya juga dimaksud untuk dapat menjelaskan posisi anggota tersebut, agar tidak menyulitkan koperasinya dalam menentukan manfaat apa yang ingin diperoleh para anggotanya dari koperasinya, yang mempunyai kaitan erat dengan upaya pengembangan posisinya di samping penetapan berbagai macam pelayanan yang diperlukan bagi anggotanya. Secara sederhana, apabila anggotanya produsen, maka minimum harapan mereka adalah dapat memperoleh keuntungan maksimal dari hasil usahanya, dengan misalnya melalui penjualan bersama produk yang dihasilkan. Jadi manfaat yang seyogyanya diharapkan dapat diberikan oleh koperasi misalnya,berupa: (a) peluang untuk menjual produk pada tingkat harga yang optimal; (b) jaminan bahwa produknya dapat terjual;(c) peluang untuk memperoleh harga input yang memberikan rendahnya biaya produksi dan sekaligus tepat waktu; (d) menyediakan altrnatif tehnologi pengolahan dan lain sebagainya.
Dengan memperhatikan hal itu, koperasi dapat menetapkan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan diposisikan sebagai kegiatan usaha utama. Langkah inilah yang dimaksud dengan menemukan core business koperasi produsen bersangkutan. Dengan cara yang sama akan dapat pula ditemukan core business untuk koperasi konsumen atau koperasi-koperasi jenis lainnya, yang dapat disebut sebagai derivative structure dari koperasi produsen atau koperasi konsumen. Melalui cara yang sederhana tetapi jelas itu, koperasi akan dapat ditata dan dikembalikan kepada posisi sebagaimana yang diamanatkan. Itulah cara untuk menghasilkan badan usaha yang disebut bangun perusahaan koperasi.
Kelima, dalam pengembangan fungsi koperasi selanjutnya , koperasi produsen sebagai contoh akan memiliki peluang mengembangkan kegiatan pengolahan produk anggotanya yang dapat memberikan nilai tambah melalui kegiatan dimaksud. Meningkatnya nilai tambah produk itu pada gilirannya dapat meningkatkan nilai pendapatan para anggota maupun koperasinya, walaupun besarnya bias jadi tidak berlangsung secara proporsional. Kelebihan pendapatan yang diperoleh akan dapat diraih dengan melalui meningkatnya nilai sisa hasil usaha (SHU). Kesemuanya itu menggambarkan bahwa secara operasional, bahwa mekanisme interaksi dalam koperasi dapat mengakomodasi aplikasi konsep ilmu ekonomi yang biasa saja.
Keenam, dalam kaitan itu perubahan kualitas dapat pula ditempuh melalui penggunaan teknologi baru atau metode kerja dan peningkatan kualitas dari sarana produksinya. Dengan menggantungkan sepenuhnya pacta kesamaan kegiatan maupun kepentingan anggota, apabila ditinjau dari sisi ilmu ekonomi sebenarnya hanya merupakan upaya untuk dapat mensinergikan kekuatan yang dimiliki anggota agar dapat mencapai skala ekonomi. Bertumpu pada hal itu, pelaksanaan upaya mendorong koperasi agar kembali kepada jatidirinya, pada gilirannya justru semakin menjadi relevan untuk diprogramkan. Untuk itu dapat digunakan benchmarking terhadap sejumlah koperasi-koperasi yang mantap, dalam rangka memperoleh berbagai hal yang harus diluruskan dengan tetap mengacu pada ketentuan dan perundang-undangan yang baru.
Dari sisi hukum, hal itu dapat digunakan untuk menegakkan amanat konsitusi (disiplin). Melalui cara seperti itu koperasi -koperasi yang belum melakukan penilaian akan diupayakan untuk mengikatkan dirinya dalam program kaji ulang yang diharapkan akan menunjukkan bagaimana koperasi bersangkutan dapat mewujudkan bentuk koperasi yang sesungguhnya.

Hal-hal yang perlu Diperbaiki agar Gerakan Koperasi di Indonesia dapat Tumbuh dan Berkembang sesuai dengan Jatidiri Koperasi.
Sebagai wujud dari komitmen kita terhadap pelaksanaan Jatidiri Koperasi yang telah disahkan pada Kongres/Rapat Anggota ICA pada 1995 serta terhadap Keputusan/Rekomendasi Konperensi Menteri-menteri Koperasi se-Asia Pasifik, maka semua pihak terkait harus memahami dan melaksankaan Jatidiri Koperasi ICA ini. Khusus pada pemerintah dalam rangka pelaksanaan jatidiri koperasi ini terdapat berbagai masukan :
1.      Pemerintah (Kementrian Koperasi & UKM) agar mensosialisasikan Jatidiri koperasi di kalangan instansi-instansi pemerintah, khususnya yang mempunyai peranan dalam pembangunan koperasi. (Resolusi Konperensi Menteri-menteri Koperasi se-Asia Pasifik 1997).
2.      Sehubungan dengan berlakunya UU otonom; daerah yang memberi wewenang cukup luas dalam mengembangkan koperasi di daerahnya, maka perlu ada ketentuan mengenai pegembangan koperasi yang berjatidiri, yang berlaku secara nasional.
3.      Pemerintah segera menyusun UU serta peraturan/kebijakan pembinaan koperasi yang secraa konsisten berdasarkan jatidiri Koperasi ICA (ICIS).
4.      Dalam upaya untuk membangun koperasi yag sehat dan mandiri, dukungan pemerintah sebaiknya ditujukan pada penguatan kelembagaan (organisasi dan manajemen usaha). Pemberian fasilitas modal hanya diberikan kepada koperasi, yang lembaganya benar-benar sudah kuat.
5.      Mengingat keberhasilan pembangunan koperasi akan berdampak positif bagi pembangunan nasional seperti: pengurangan kemiskinan; penciptaan lapangan kerja; dan penciptaan masyarakat madani yang demokratis, maka kerjasama antara pemerintah dan gerakan merupakan suatu keharusan.
6.      Antara pemerintah dan gerakan koperasi perlu memiliki persepsi atau pemahaman dan penafsiran yang sama terhadap jatidiri koperasi sebagai oasis bagi kemitraan dalam pembangunan koperasi secara nasional. Kebijakan pembangunan koperasi nasional ini perlu dituangkan dalam “Kebijakan Nasional Pembangunan Koperasi”, yang memuat apa yang harus dilakukan gerakan dan apa yang harus dilakukan pemerintah.
Bagi pengurus koperasi :
1.      Melaksanakan fungsi koperasi sebagamana mestinya
2.      Menyalurkan segenap aspirasi dari anggota dalam melakukan kegiatan operasional koperasi
3.      Lebih mengutamakan anggota koperasi dibandingkan diluar anggota koperasi sebagai salah satu wujud mensejahterakan anggota
4.      Adanya bentuk operasional mengenai administrasi dan keuangan koperasi yang jelas
Bagi anggota koperasi :
1.      Melaksanakan hak dan kewajiban sebagai anggota koperasi yang sesuai dengan ketentuan keanggotaan koperasi
2.      Menyadari bahwa koperasi milik bersama dan harus dibangun bersama baik oleh pengurus maupun anggota
3.      Anggota sebagai salah satu cara dalam mengembangkan koperasi karena koperasi dibentuk untuk dan oleh anggota



DAFTAR PUSTAKA
Ibnoe Soedjono. 2007. Membangun Koperasi Mandiri dalam Koridor Jati Diri. Jakarta: LSP2I-ISC
Djohan, Djabaruddin. 2009. Profil Koperasi-Koperasi Kelas Dunia. Jakarta. Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I), Asosiasi Dosen dan Peneliti Perkoperasian Indonesia (ADOPKOP INDONESIA}
Nirbito J.G, 2002. Peluang dan Tantangan Koperasi Indonesia dalam Era Globalisasi, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang
Riesty.anita. 2010. Peranan koperasi di indonesia. (online). http://anitariesty.blogspot.co.id/2010/02/peranan-koperasi-di-indonesia-berserta.html diakses tanggal 19 september 2016