Jumat, 05 Februari 2016

HUBUNGAN HUBUNGAN PERUSAHAAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Di dalam melaksanakan kegiatan bisnis sehari-hari, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang melakukannya dengan bekerja sama dengan pihak local da nada pula yang melakukannya dengan pihak asing. Ada yang melakukannya untuk pribadi, da nada pula yang melakukannya untuk kepentingan perusahaan.
      Hubungan–hubungan bisnis demikian tentunya dilakukan karena mempunyai kepentingan dan tujuan sendiri-sendiri. Secara pasti, tujuan mereka melakukan hubungan bisnis tidak lain dimaksudkan untuk saling mencari keuntungan satu sama lain. Selain itu ada tujuan lain seperti untuk mempercepat proses pemasaran produknya kemasyarakat luas. Ada pula yang bertujuan membantu pihak lain karena tidak diizinkannya pihak lain memasarkan produknya secara langsung di suatu Negara. Namun, ada pula yang melakukannya karena ketidakmampuannya untuk berbisnis, ataupun masalah permodalannya, serta tujuan-tujuan lainnya.
Untuk memperjelas arti hubungan bisnis dan  beragamnya bentuk hubungan bisnis, maka akan diuraikan beberapa hubungan bisnis yang cukup menarik dan banyak menjadi pembicaraan masyarakat luas serta sering menjadi telaah lebih lanjut, yaitu hubungan bisnis dalam bentuk Merger,  Konsolidasi , keagenan/distributor, franchise, joint venture, akuisisi, dan usaha bangun guna serah atau lebih dikenal dengan nama BOT (Built Operate and Transfer).

B.  Rumusan Masalah
1)      Apa yang dimaksud Merger?
2)      Apa yang dimaksud Konsolidasi?
3)      Apa yang dimaksud joint venture?
4)      Apa yang dimaksud akuisisi?
5)      Apa yang dimaksud keagenan/Distributor?
6)      Apa yang dimaksud franchising?
7)      Apa yang dimaksud BOT (Built Operate and Transfer)?

C.  Tujuan Penulisan
1)      Untuk memahami tentang Merger.
2)      Untuk memahami tentang Konsolidasi.
3)      Untuk memahami tentang joint venture.
4)      Untuk memahami tentang akuisisi.
5)      Untuk memahami tentang keagenan/Distributor.
6)      Untuk memahamitentang franchising.
7)      Untuk memahami tentang BOT (Built Operate and Transfer.























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Merger
Merger atau fusi adalah suatu penggabungan satu atau beberapa badan usaha sehingga dari sudut ekonomi merupakan satu kesatuan, tanpa melebur badan usaha yang bergabung. Dipandang dari segi ekonomi, ada dua jenis merger, yaitu:
1.  Merger horizontal
Merger horizontal adalah penggabungan satu atau beberapa perusahaan yang masing-masing kegiatan bisnis (produksinya) berbeda satu sama lain sehingga satu dengan yang lainnya merupakan kelanjutan dari masing-masing produk. Contoh: PT “A” yang mengusahakan “kapas”, bergabung dengan PT “B” yang mengusahakan “Pemintalan”, bergabung dengan PT “C” yang mengusahakan “kain” dan seterusnya. Dengan demikian, tujuan kerjasama disini adalah menjamin tersedianya pasokan atau penjualan dan distribusi, di mana PT “B” akan mempergunakan produk  “A”, dan PT C akan mempergunakan produk PT “B” dan seterusnya.
2. Merger vertikal
Merger vertikal adalah penggabungan satu atau beberapa  perusahaan yang masing-masing kegiatan bisnis berbeda satu sama lain, namun tidak saling mendukung dalam penggunaan produk. Misalnya badan usaha perhotelan, bergabung dengan badan usaha perbankan, perasuransian sehingga di sini terlihat adanya diversifikasi usaha dalam suatu penggabungan badan usaha. Hal ini akan menjurus pada pembentukan suatu kerja sama yang menuju ke arah konsern (Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1994:13).
Secara umum yang dimaksud dengan konsern adalah “suatu susunan dari perusahaan-perusahaan  yang secara yuridis  tetap mandiri dan yang satu dengan yang lain merupakan satu kesatuan ekonomi yang dipimpin oleh suatu perusahaan induk”  (Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1994:1).


Contoh:
PT A+PT B + PT C dengan induk perusahaan PT B
Selanjutnya dipandanag dari aspek hukum, bentuk kerja sama ini hanya dapat dilakukan pada badan usaha dengan status badan hukum ( dalam hal ini perseroan terbatas) (Sri Rejeki Hartono, 2000:39). Oleh karena itu, beliau menyatakan bahwa fusi (merger) adalah penggabungan sedemikian rupa dari dua  perseroan terbatas sehingga dari segi ekonomis (secara ekonomis) dapat dianggap sebagai satu kesatuan.
Dengan demikian, penggabungan perseroan ini merupakan usaha perluasan atau pembesaran perseroan melalui pemilikan atau penyatuan beberapa perseroan ke dalam suatu kepemilikan. Penggabungan ini dapat dilandasi oleh beberapa kepentingan ekonomi, antara lain (Mas’ud Machfoed, 1995:11) :
1.    Dapat dimanfaatkan aset yang lebih efisien dalam satu keatuan perseroan;
2.    Adanya integrasi usaha, melalui penguasaan atau penggabungan badan usaha yang segaris, sehingga biaya  produksi  dapat ditekan lebih mudah:
3.    Dengan menggabungkan perseroan diharapkan mampu menarik manajemen yang profesional;
4.    Apabila perseroan yang merugi berhubungan dengan perseroan yang memperoleh laba, perseroan yang rugi akan menampakkan performa yang baik karena kerugian tersebut tampak dikurangi  oleh perseroan yag diajak gabung.
Secara umum pihak-pihak yang terkait dalam mergernya suatu perusahaan adalah:
1.      Pemerintah, dalam hal ini adalah Menteri Keuangan , Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum , dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM).
a.       Menteri Keuangan terkait dalam rangka memberikan pertimbangan dari segi teknis, khususnya  mengenai permodalan dan tingkat kesehatan perbankan yang akan melakukan merger.
b.      Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum, terkait dalam rangka:
Ø Meneliti apakah prosedur merger telah dilaksanakan,
Ø Memberikan persetujuan atas pengesahan perubahan anggaran dasar perusahaan.
c.       Badan koordinasi Penanaman Modal terkait apabila yang akan merger adalah perusahaan-perusahaan Penanaman  Modal Dalam Negeri.
2.      Akuntan publik, terkait karena sebelum merger badan usaha yang bersangkutan memerlukan jasa akuntan public untuk menyusun laporan keuangan yang terdiri dari neraca dan perhitungan rugi laba.
3.      Konsultan,  yang umumnya terdiri dari: konsultan hukum, konsultan keuangan, konsultan manajemen, dan konsultan pajak.
a.       Konsultan  Hukum diperlukan untuk memberikan pendapat tentang:
Ø Keabsahan anggaran dasar perusahaan yang merger,
Ø Keabsahan izin-izin yang diperlukan,
Ø Keabsahan hak milik perusahaan, dan
Ø Akibat hukum dari merger.
b.      Konsultan Keuangan: bertugas untuk memberikan saran kepada perusahaan penerima penggabungan mengenai cara-cara pembiayaan untuk merger.
c.       Konsultan Manajemen: akan bertugas memberikan saran-saran bagi perusahaan penerima penggabungan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih perusahaan yang akan digabungkan.
d.      Konsultan Pajak: terkait untuk meneliti seberapa besar kewajiban badan usaha yang telah merger untuk membayar pajak.
4.      Notaris, terkait untuk membuat akta pendirian badan usaha hasil merger.

2.2 Konsolidasi
Konsolidasi adalah penggabungan antara dua atau lebih badan usaha yang menggabungkan  diri saling melebur menjadi satu dan membentuk satu badan usaha yang baru. Oleh karena itu, konsolidasi sering kali disebut dengan peleburan. Dapat dicontohkan bahwa jika PT A + PT B + PT C  menggabungkan diri, mereka akan membentuk satu badan usaha, yaitu PT D dan nama-nama badan usaha yang menggabungkan diri menjadi lenyap, inilah yang disebut konsolidasi. Kerja sama badan usaha dengan bentuk merger dan konsolidasi ini bertujuan untuk untuk menyehatkan badan usaha yang bersangkutan. Usaha untuk menyehatkan ini dalam bisnis sering disebut restrukturisasi.
Restrukturisasi badan usaha berarti melakukan perombakan secara mendasar seluruh mata rantai bisnis yang bertujuan untuk mencapai daya saing dan kompetisi, yang berarti bahwa tidak semata-mata menjadikan badan usaha tetap eksis, namun juga tetap memenuhi tuntunan pasar. Perombakan usaha tidak hanya menyangkut badan aspek bisnis, tetapi menyangkut usaha, organisasi manajemen, keuangan, maupun aspek hukumnya. Bagi badan usaha yang mengalami kesulitan dan terancam pailit, maka melakukan upaya restrukturisasi badan usaha merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan.
Soewito (1998: 2-3) menyatakan bahwa restrukturisasi badan usaha pada umumnya meliputu beberapa aspek, yaitu sebagai berikut:
1.    Restrukturisasi bisnis, yaitu suatu jenis restrukturisasi yang bertujuan melakukan penataan terhadap seluruh mata rantai perusahaan guna meningkatkan daya saing dan kompetisi.
2.    Restrukturisasi keuangan untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
3.    Restrukturisasi manajemen, yaitu upaya penataan sistem manajemen perusahaan untuk meningkatkan daya saing.
4.    Restrukturisasi organisasi, yang meliputi usaha pembenahan antara lain:
a.       Memperbaiki proses pengambilan keputusan.
b.      Kebutuhan pegawai yang optimal.
c.       Membutuhkan pendelegasian yang lebih banyak.
d.      Penggabungan beberapa fungsi.
5.    Restrukturisasi di bidang hukum yang bertujuan meningkatkan status badan hukum suatu perusahaan.
Sementara itu, ada anggapan bahwa suatu badan usaha umumnya melakukan restrukturisasi  karena menghadapi beberapa masalah yang apabila tidak segera dilakukan badan usaha tersebut akan mengalami kesulitan. Restrukturisasi badan usaha dapat dipandang dalam arti positif maupun negative, artinya restrukturisasi badan usaha dapat dilakukan rangka pengembangan  badan usaha  ataupun dalam rangka kesulitan badan usaha.

2.3 Joint Venture
Joint Venturesecara umum dapat diartikan sebagai suatu persetujuan di antara dua pihak atau lebih, untuk melakukan kerja sama  dalam suatu kegiatan Persetujuan yang dimaksud di sini adalah kesepakatan yang didasari atas suatu perjanjian yang harus tetap berpedoman kepada syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut:
1.    Para pihak sepakat untuk mengikat dirinya.
2.    Para pihak cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
3.    Perbuatan hukum tersebut harus mengenai suatu hal tertentu.
4.    Persetujuan tersebut harus mengenai sesuatu hal yang tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan dan ketertiban hukum.
Sementara itu kegiatan maksudnya adalah kegiatan dalam bidang bisnis, baik itu menyangkut:
1.      Usaha dalam arti kegiatan perdagangan (commerce), yaitu keseluruhan kegiatan jual-beli yang dilakukan oleh orang-orang atau badan-badan baik di dalam maupun di luar negeri maupun luar negeri ataupun antarnegara untuk tujuan memperoleh keuntungan.
2.      Usaha dalam arti kegiatan industri, yaitu kegiatan memproduksi atau menghasilkan barang atau jasa yang nilainya lebih berguna dari asalnya.
3.      Usaha dalam arti kegiatan melaksanakan jasa-jasa service, yaitu kegiatan yang melaksanakan atau menyediakan jasa-jasa yang dilakukan baik oleh perorangan maupun suatu badan.
Menurut Amirizal (1996: 82) Jika dilihat dari subjeknya, Joint Venture dapat dibagi menjadi dua jenis kerja sama, yaitu:
1.      Antara orang atau badan hukum Republik Indonesia dengan orang atau badan hukum Republik Indonesia.
2.      Antara orang atau badan hukum Republik Indonesia dengan orang atau badan hukum asing/lembaga Internasional.
Dengan memerhatikan komposisi modal dan bentuk badan hukum, serta corak perjanjiannya, kerja sama (Joint Venture) itu oleh Amirizal dibagi menjadi enam bentuk, yaitu:
1.    Membentuk badan hukum Republik Indonesia (maksudnya BUMN) dengan modal seratus persen milik badan hukum atau warga Negara Indonesia.
2.    Membentuk badan hukum Republik Indonesia dengan modal campuran antara badan hukum Republik Indonesia dengan warga Negara Indonesia.
3.    Membentuk badan hukum asing dengan modal seratus persen milik badan hukum dan atau warga Negara Indonesia.
4.    Tidak membentuk badan hukum Republik Indonesia dengan modal seratus persen milik badan hukum dan atau warga Negara Indonesia.
5.    Membentuk badan hukum Republik Indonesia dengan modal campuran antara milik badan hukum dan atau warga Negara Indonesia dengan modal asing.
6.    Membentuk badan hukum Indonesia dengan modal seratus persen milik asing (direct investment).
Ada beberapa  unsur pokok yang harus tercantum dalam perjanjian joint venture. Unsur-unsur dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.    Uraian tentang para pihak
Para pihak tercantum dengan jelas identitasnya dalam perjanjian joint venture, termasuk apakah para pihak tersebut berasal dari suatu Negara atau dari beberapa Negara.
2.    Dasar pertimbangan dan tujuan joint venture
Pemikiran  atau dasar pertimbangan para pihak dalam kerja sama atau joint venture tersebut juga harus dicantumkan dalam perjanjian joint venture. Dasar pertimbangan tersebut sedapat mungkin akan mengungkapkan tujuan para pihak dalam joint venture.
3.    Jangka waktu
Jangka waktu ini menyangkut berapa lama kerja sama (joint venture) tersebut akan diadakan.
4.    Pembiayaan
Pembiayaan merupakan hal yang terpenting yang harus dicantumkan dalam perjanjian joint venture. Pembiayaan ini akan mengakibatkan besarnya keuntungan atau kerugian yang dibagi atau ditanggung bersama.

5.    Ketentuan-ketentuan jika terjadi perselisihan
Di dalam perjanjian juga harus perlu diadakan klausul, bagaimana menyelesaikan jika terjadi perselisihan di antara para pihak, apakah akan diselesaikan melalui arbitrase, badan arbitrase yang dipilih, dan prosedur serta hukum yang akan digunakan.

2.4 Akuisisi
Akuisisi merupakan cara mengembangkan perusahaan yanag sudah ada atau menyelamatkan perusahaan yang sedang mengalami kekurangan atau kesulitan modal.  Dalam pasal 1 (3) Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1998 ditentukan:  “Pengambilalihan  adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perorangan untuk mengambil alih, baik seluruh ataupun sebagian besar saham perseroan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut”. Dengan demikian, menurut undang-undang istilah akuisisi berarti sama dengan pengambilalihan, orang perseorangan boleh mengambil alih sebagian besar saham suatu perseroan.
A.    Jenis-jenis akuisisi
Ditinjau dari segi kekuasaan perseroan, akuisisi dapat dilakukan sebagai berikut:
1)      Akuisisi internal adalah akuisisi terhadap perseroan dalam kelompok/group sendiri. Dalam hal ini, suatu kelompok/group memiliki beberapa perseroan, baik sejenis maupun tidak sejenis yang berdiri sendiri-sendiri. Di antara perseroan dalam satu kelompok/grup itu mungkin mengalami kekurangan modal atau manajemen tidak beres atau tidak mampu bersaing sehingga tidak/kurang mampu bertahan hidup. Untuk menyelamatkan perseroan tersebut, maka perseroan lain yang sehat/kuat dalam satu kelompok/grup yang sama mengakuisisinyya. 
2)      Akuisisi ekternal adalah akuisisi terhadap perseroan diluar kelompok/grup sendiri atau terhadap perseroan dari kelompok lain, baik sejenis maupun tidak sejenis. Dalam hal ini, akuisisidapat menyelamatkan perseroan terakuisisi dan sebaliknya memperkuat posisi perseroan pengakuisisi, baik dari sinergi finansial maupun produksi, distribusi, dan pengembangan teknologi sehingga memperkuat daya saingnya dan menciptakan monopoli.
Ditinjau dari segi keberadaan perseroan, akuisisi dapat dibedakan sebagai berikut: 
1)        Akuisisi finansial (financial acquisition)adalah akuisisi terhadap satu atau beberapa perseroan tertentu dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan finansial dengan jalan memperbaiki kondisi perseroan terakuisisi. Perseroan terakuisisi ini biasanya berada dalam kondisi merugi, beban utang membesar distribusi dan pemasaran produk tidak lancar, dan harga sahamnya di bursa efek turun. Setelah perseroan terakuisisi  menjadi sehat, kemudian sahamnya dijual kepada pihak lain dengan harapan memperoleh keuntungan finansial.
2)        Akuisisi strategis (strategic acquisition)adalah akuisisi yang bertujuan menciptakan sinergi berdasarkan pertimbangan jangka panjang. Sinergi ini tidak hanya sinergi finansial, tetapi juga sinergi produksi, distribusi, pengembangan teknologi, dan gabungan dari sinergi-sinergi tersebut. Sinergi yang dikembangkan melalui akuisisi ini mempunyai misi khusus yaitu menciptakan monopoli dan menghapuskan persaingan.
Akuisisi strategis  mempunyai tiga tipe yaitu:
a)    Akuisisi horizontal adalah akuisisi terhadap perseroan yang memiliki produk dan jasa yang sejenis atau persaingan yang sama memiliki daerah pemasaran yang sama. Akuisisi ini bertujuan  untuk memperluas pemasaran.
b)   Akuisisi vertikal adalah akuisisi terhadap beberapa perseroan yang memiliki produk dan jasa yang tidak sejenis dengan tujuan menguasai mata rantai produksi dan distribusi dari hulu sampai hilir.
c)    Akuisisi konglomerasi adalah akuisisi terhadap satu atau beberapa perseroan yang tidak mempunyai kaitan bisnis secara langsung dengan bisnis perseroan .ini bertujuan untuk membentuk konglomerasi baru atau yang lebih besar lagi.
B.     Keuntungan dan kerugian akuisisi
Menurut Ahmad Ramli (1995) beberapa keuntungan dari tindakan akuisisi, yaitu:
1)      Kelangsungan hidup perseroan terjamin karena makin kuat.
2)      Pengaruh persaingan dapat dikurangi.
3)      Kedudukan atau keuangan perseroan bertambah kuat.
4)      Arus barang (flow of goods)ke pasaran terjamin.
5)      Perseroan yang merugi menjadi stabil kedudukannya.
6)      Kualitas/mutu barang dapat ditingkatkan.
Di samping keuntungan, juga ada dampak negatif berupa  kerugian akibat akuisisi, yaitu:
1)      Pemegang saham minoritas semakin lama makin terdesak oleh pemegang saham mayoritas dan akhirnya seluruh saham perseroan terakuisisi akan diakuisisi oleh perseroan pengakuisisi.
2)      Secara diam-diam akuisisi cenderung menuju pemusatan kekuatan ekonomi pada kelompok perseroan tertentu dalam bentuk monopoli.
3)      Perseroan pengakuisisi dapat mengusai pasar dengan bebas sehingga menjadi pemegang monopoli dan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik Monopoli dan persaingan tidak sehat.
C.    Aspek Hukum Akuisisi
            Akuisisi (pengambilalihan) perseroan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan (Pasal 103 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995). Akuisisi tersebut dapat dilakukan melalui seluruh atau sebagian besar saham yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan yang bersangkutan (Pasal 103 ayat (2)  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995). Menurut ketentuan Pasal 103 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 berlaku ketentuan rencana akuisisi dituangkan dalam rancangan akuisisi yang disusun oleh direksi perseroan yang akan mengakuisisi dan yang akan diakuisisi. 
            Menurut ketentuan Pasal 104 ayat (1)  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, perbuatan hukum akuisisi perseroan harus memerhatikan:
1)      Kepentingan perseroan, pemegang saham minoritas dan karyawan perseroan.
2)      Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
3)      Kepentingan kreditor (Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998).

2.5 Keagenan/Distributor
Latar belakang terjadinya hubungan bisnis keagenan ini disebabkan oleh adanya pihak luar negeri yang tidak diperbolehkan untuk menjual barangnya (produknya) secara langsung, baik ekspor/impor ke Indonesia. Untuk itu pihak asing yang biasa disebut dengan prinsipal harus menunjuk agen-agennya atau perwakilannya di Indonesia untuk memasarkan produknya.
Hubungan bisnis dengan nama keagenan dan dengan nama distributor adalah berbeda. Namun dalam praktik bisnis sehari-hari keduanya biasa digabungkan. Bila seseorang/badan bertindak sebagai agen, berarti ia bertindak untuk dan atas nama principal. Sedangkan bila seseorang/badan bertindak sebagai distributor, berarti ia bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri
            Dalam kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai suatu hubungan hukum di mana seseorang/pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama orang/pihak prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain. Jadi kriteria utama untuk dapat dikatakan adanya suatu keagenan adalah adanya wewenang yang dipunyai oleh agen tadi yang bertindak untuk dan atas nama prinsipal.
            Principal akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seorang agen, sepanjang hal tersebut dilakukan dalam batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya. Dengan perkataan lain, bila seorang agen ternyata bertindak melampaui batas wewenangnya, maka agen itu sendiri yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya tadi.
            Sedangkan seorang distributor tidak bertindak untuk dan atas nama pihak yang menunjuknya sebagai distributor (biasanya supplier, atau manufacture) .seorang distributor bertindak untuk dan atas nama sendiri. Oleh karena itu, biasanya dalam perjanjian distributor secara tegas akan dinyatakan dengan kalimat sebagai berikut:
            Except as expressly provided for in this agreement, nothing here in shall be deemed to create an agency, joint venture, partnership or employment relationship or employment between the parties here to, deemed or constried as granting to distributor any right or authority to assume or to create any obligation or responsibility, express or implied, for an behalf l of, or in the name of X, or to bind X in any way or manner whatsoever.
            Pertanyaan berikutnya adalah apakah perbedaannya antara agen/distributor dengan makelar dan komisioner? Makelar (broker) adalah seseorang yang pekerjaannya adalah bertindak sebagai perantara dalam suatu transaksi bisnis antara pihak-pihak yang tersangkut. Makelar di sini tidak mempunyai wewenang untuk bertindak dan atas nama salah satu pihak dalam suatu transaksi. Sedangkan apabila seseorang ingin melaksanakan  jual beli, baik jual beli barang ataupun jasa melalui seorang perantara , dengan memberikan kuasa kepada perantara tadi untuk bertindak atas namanya atas tanggung sendiri dengan menerima komisi atas jasa-jasanya, perantara tadi disebut dengan komisioner.
            Dalam perjanjian bisnis yang diadakan antara agen/distributor dengan prinsipalnya, biasanya dilakukan dengan membuat suatu kontrak tertulis yang isinya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan para pihak tersebut, asal saja tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan sesuai dengan Pasal 1388 KUHPerdata.
            Seorang prinsipal, misalnya dapat menunjuk seseorang untuk menjadi agennya  dengan hanya berisi beberapa baris kalimat saja. Si agen kemudian membubuhkan tanda tangannya sebagai tanda telah mengetahui dan menerima adanya penunjukan dirinya sebagai agen dari principal tersebut.
`           Adakalanya antara principal dan agen dibuat suatu perjanjian ang sederhana yang memuat pokok-pokok tentang apa-apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak. Tetapi tidak sedikit yang membuat perjanjiannya dengan ketentuan-ketentuan secara terperinci. Tentu saja membuat perjanjian secara terperinci tidak mudah. Tetapi dengan perjanjian yang terperinci, akan semakin kecil kemungkinan untuk salah menafsirkan isi perjanjian.
            Bila pihak asing ingin menunjuk seorang agen/distributor di Indonesia, maka menurut surat  Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 77/Kp/III/78, tanggal 9 Maret 1978 ditentukan lamanya perjanjian harus dilakukan untuk jangka waktu 3 tahun. Sekalipun ketentuan di atas merupakan pedoman bagi perjanjian keagenan/distributor di mana prinsipnya bukanlah perusahaan di Indonesia, tetapi dalam praktiknya tetap dipakai sebgai pedoman bagi perjanjian keagenan/distributor di mana prinsipalnya  adalah perusahaan di luar negeri. Diadakannya jangka waktu minimal dimaksudkan untuk melindungi kepentingan perusahaan nasional Indonesia dari tindakan-tindakan yang tidak sewajarnya dari pihak prinsipal.
            Apabila agen/distributor ingin mengalihkan haknya kepada pihak lain sebagian maupun seluruhnya, tentu dibolehkan sesuai dengan isi Pasal 1338 KUHPPerdata mengenai hal kebebasan berkontrak. Di sini para pihak bebas menentukan apakah hak dan kewajiban mereka akan dialihkan atau  tidak.
            Dalam praktik perjanjian yang diadakan antara para pihak ternyata terdapat 3 (tiga) kemungkinan variasi yang terjadi, yaitu sebagai berikut: kemungkinan pertama, dinyatakan bahwa masing-masing pihak baik principal maupun agen tidak berhak untuk mengalihkan sebagian atas seluruh hak dan kewajibannya, tanpa adanya persetujun dari pihak lain.
            Kemungkinan kedua, principal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga, tetapi agen tidak, dan kemungkinan ketiga, prinsipal  boleh mengalihkan  apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak ketiga, akan tetapi  agen hanya diperbolehkan untuk mengalihkan hak dan kewajibannya apabila diperoleh persetujuan untuk itu dari pihak principal.
            Dalam perjanjian juga para pihak biasanya akan merumuskan secara jelas peristiwa apa-apa saja yang menjadi perselisihan (events of defaults)  yang memberikan dasar bagi masing-masing pihak untuk memutus perjanjian keagenan/distributor di antara mereka. Biasanya yang dikategorikan sebagai events of defaults antara lain sebagai berikut:
1.      Apabila agen distributor lalai melaksanakan kewajibannya, sebagaimana tercantum pada perjanjian keagenan/distributor termasuk kewajiban melakukan pembayaran.
2.      Apabila agen/distributor melaksanakan apa yang sebenarnya tidak boleh dilakukan.
3.      Apabila para pihak jatuh pailit.
4.      Keadaan-keadaan lain yang menyebabkan para pihak tidak dapat melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.
Bila para pihak ingin memutuskan perjanjian, tetap harus diperhatikan ketentuan  Pasal 1266 KUHPPerdata yang pada dasarnya menyatakan bahwa pembatalan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan setelah adanya keputusan pengadilan. Dengan perkataan lain, prinsipal yang bermaksud memutuskan perjanjian keagenan dengan agennya, tidak cukup hanya dengan mengirimkan pemberitahuan secara tertulis saja akan maksudnya itu. Principal harus mengajukan gugatan ke pengadilan  negeri yang berwenang dan menunggu adanya keputusan pengadilan yang membenarkan dilakukannya pemusatan perjanjian keagenan.
Oleh karena sistem hukum perjanjian kita menganut sistem terbuka, maka dalam praktik untuk menghindari prosedur tadi, para pihak dengan tegas menyatakan di dalam salah satu pasal perjanjiannya bahwa untuk perjanjian keagenan, mereka setuju  untuk menyampingkan Pasal 1266 ini, para pihak dapat melakukan pemutusan perjanjian keagenan sesuai dengan ketentuan –ketentuan yang mereka perjanjikan dalam perjanjiannya.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam suatu perjanjian keagenan/distributot adalah adanya pilihan hukum yang akan dipakai para pihak. Sebab dalam hukum internasional kita kenal  adanya asas pilihan hukum (choice of law).

2.6  Franchising (Hak Monopoli)
Franchise pada mulanya dipandang bukan sebagai suatu usaha (bisnis), melainkan sebagai suatu konsep, metode ataupun sistem pemasaran yang dapat digunakan oleh suatu perusahaan (franchisor) untuk mengembangkan pemasarannya tanpa melakukan investasi langsung pada outlet (tempat penjualan), melainkan dengan melibatkan kerja sama pihak lain (franchisee) selaku pemilik outlet. Sosok ini merupakan konsep tradisional. Dalam bidang bisnis franchise berarti kebebasan yang diperoleh seorang wirausaha untuk menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah tertentu.
Franchise ini merupakan suatu metode untuk melakukan bisnis, yaitu suatu metode untuk memasarkan produk atau jasa ke masyarakat. Dapat juga disebutkan bahwa franchiseadalah hubungan berdasarkan kontrak lisensi yang menimbulkan cara memasarkan barang atau jasa dengan memberi unsur control tertentu kepada pihak pemasok (franchisor) sebagai imbalan bagi ang diperoleh oleh pihak yang mendapat hak (franchisee) untuk menggunakan merek dan nama barang franchisor.
Perusahaan yang memberikan lisensi disebut franchisor dan penyalurnya disebut franchisee. Perusahaan kecil mendefinisikan Franchisingsebagai suatu sistem dan distribusi di mana suatu perusahaan ang dimiliki oleh seseorang diselenggarakan seolah-olah merupakan bagian dan suatu rangkaian yang besar, lengkap dengan nama produk, merek dagang, dan prosedur penyelanggaraan standar. Ada 4 hal yang menonjol dalam hal pemasaran konsep Franchiseyaitu product, price, place/distribution dan promotion (4P). keempat hal yang spesifik ini terutama tampak pada aspek distribusinya yang dalam operasionalnya melibatkan kerja sama dengan pihal lain yang independen.
British Franchise Association (BFA) mendefinisikan Franchisesebagai berikut: Franchiseadalah contractual licence yang diberikan oleh suatu pihak  (Franchisor) kepada pihak lain (Franchisee) yang:
a.    Mengizinkan Franchisee untuk menjalankan usaha selama periode Franchiseberlangsung, suatu usaha tertentu yang menjadi pemilik Franchisor.
b.    Franchisor berhak untuk menjalankan kontrol yang berlanjut selama periode Franchise.
c.    Mengharuskan Franchisor untuk memberikan bantuan padaFranchisee dalam melaksanakan usahanya sesuai dengan subjekFranchisenya (berhubungan dengan pemberian pelatihan) .
d.   Mewajibkan Franchisee untuk secara periodik selama periodik Franchiseberlangsung, membayar sejumlah uang sebagai pembayaran atasFranchiseatau produk atau jasa yang diberikan oleh Franchisor kepada Franchisee.
e.    Bukan merupakan transaksi antara perusahaan individu (holding company) dengan cabangnya atau antara cabang dan perusahaan induk yang sama, atau antara individu dengan perusahaan yang dikontrolnya.
Karakteristik dasar Franchise
1.      Harus ada suatu perjanjian (kontrak) tertulis, yang mewakili kepentingan yang seimbang antara Franchisor dengan Franchisee. Isi kontrak pada dasarnya dapat dinegosiasi. Isi kontrak hendaknya didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
2.      Franchisor harus memberikan pelatihan dalam segala aspek bisnis yang akan dimasukinya. Juga memelihara kelangsungan usaha Franchisedengan memberikan dukungan dalam berbagai aspek bisnis misalnya periklanan.
3.      Franchisee diperbolehkan (dalam kendali Franchisor) beroperasi dengan menggunakan nama/merek dagang, format atau prosedur, serta segala nama (reputasi) baik yang dimiliki Franchisor.
4.      Franchisee harus mengadakan investasi yang berasal dan sumber dananya sendiri atau dengan dukungan sumber dana lainnya (misalnya kredit perbankan). Pada outlet (tempat penjualan) yang dikelola Franchisee,  tidak ada investasi langsung dari Franchisor. yang lazim adalah pengadaan peralatan dengan fasilitas leasing atau barang dagangan secara cicilan oleh Franchisor  cicilan oleh Franchisor.
5.      Franchisee berhak secara penuh mengelola bisnisnya sendiri.
6.      Franchisee  membayar fee dan atau royalty kepada Franchisor atas hak yang didapatnyadan atas bantuan yang terus-menerus diberikan oleh Franchisor.
7.      Franchisee berhak memperoleh daerah pemasaran tertentu di mana ia adalah satu-satunya pihak yang berhak masarkan barang atau jasa yang dihasilkannya.
Persyaratan yang terperinci dari kontrak-kontrak Franchiseberbeda-beda tetapi secara umum kontrak tersebut meliputi ketentuan-ketentuan berikut:
Franchisor setuju untuk:
1.      Memberikan suatu wilayah penjualan yang berdiri sendiri kepada Franchisee.
2.      Menyediakan suatu jumlah tertentu dari latihan dan bantuan manajemen.
3.      Memberikan barang-barang dagangan kepada Franchisee  dengan harga yang bersaing.
4.      Memberikan nasihat kepada Franchisee tentang lokasi perusahaan dan desain dari bangunan.
5.      Memberikan bantuan finansial tertentu atau nasihat finansial pada Franchise.
Franchisee setuju untuk:
1.      Menyelenggarakan perusahaan sesuai dengan peraturan-peraturan yang diajukan oleh Franchisor.
2.      Menginvestasikan suatu jumlah minimum tertentu dalam perusahaan.
3.      Membayar kepada Franchisor suatu jumlah tertentu (biasanya sebagai honorarium dalam perusahaan yang tetap).
4.      Membangun atau bila tidak, menyediakan suatu fasilitas perusahaan seperti yang disetujui oleh Franchisor.
5.      Memberi penyediaan dan material standar lainnya dari Franchisor atau dari leveransir yang telah disetujui.
Contoh yang paling terkenal dari bisnis Franchisingadalah hal industry yang disajikan dengan cepat misalnya Mac Donald’s, Kentucky Fried Chicken. Pizza HUT, Es Teller, usaha persewaan mobil seperti Hertz, Avis.
Keuntungan dari bisnis Franchise dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Diberikannya latihan dan pengarahan yang diberikan oleh Franchisor.
2.      Diberikannya bantuan finansial dari Franchisor. Biaya permulaan tinggi, dan sumber modal dari pengusaha sering terbatas.
3.      Diberikannya penggunaan nama perdagangan, produk atau merek yang telah dikenal
Kerugian dari bisnis Franchise dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Adanya program latihan yang dijanjikan oleh Franchisor  kadangkala jauh dari apa yang diinginkan oleh Franchisee.
2.      Perincian setiap hari tentang penyelenggaraan perusahaan yang sering diabaikan.
3.      Hanya sedikit sekali kebebasan yang diberikan kepadaFranchisee untuk menjalankan akal budi mereka sendiri.
4.      Pada bisnisFranchise jarang mempunyai hak untuk menjual perusahaan kepada pihak ketiga tanpa terlebih dahulu menawarkannya kepada Franchisor dengan harga yang sama.

2.7    Bangun Guna Serah (Build, Operate, and Transfer =BOT)
Menurut keputusan Menteri Keuangan Nomor: 248/ KMK.04/ 1995 tanggal 2 Juni 1995, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bangun guna serah adalah  suatu bentuk perjanjian kerjasam yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun serah guna (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang ha katas tanah setelah masa banguna guna serah berakhir.
Hubungan bisnis bangun guna serah ini membawa keuntungan bagi kedua belah pihak. Di satu pihak si pemilik tanah tidak mempunyai modal untuk membangun di atas tanah tersebut sedangkan si pemilik modal (investor) mempunyai tanah, namun tidak memiliki tanah untuk membangun. Dengan demikian lembaga ini membawa kepentingan yang sama-sama baik kepada kedua belah pihak. Hal ini tentu saja harus jelas disebutkan klausa-klausa perjanjian bangun guna serah yang akan mereka buat. Dan perjanjian yang akan dibuat oleh si pemilik tanah maupun si investor tentunya akan berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku seperti KUHPPerdata serta adanya itikad baik untuk melaksanakannya .bagaimana isi dan bentuk perjanjiannya dapat dengan bantuan konsultan hukum yang ahli menanganinya.
Bila titik dari sudut perpajakannya, ternyata hubungan bisnis bangun guna serah telah diatur secara jelas dalam SK menteri di atas. Misalnya dapat disebutkan bahwa biaya mendirikan bangunan di atas tanah yang dikeluarkan oleh investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau ha katas menggunakan bangunan tersebut, dan jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh investor diamortisasi (disusutkan) dalam jumlah yang sama besar setiap tahunnya selama masa perjanjian bangun guna serah.
Dan berdasarkan Pasal 4Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1983 sebagai mana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan, maka bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang ha katas tanah setelah masa perjanjian berakhir adalah merupakan penghasilan bagi pemegang ha katas tanah tersebut. Atas penghasilan tersebut maka akan terutang pajak sebesar 5% dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan nilai jual objek pajak (NJOP) bangunan yang bersangkutan.
Atas pembayaran pajak penghasilan yang dilakukan oleh orang pribadi adalah bersifat final, sedangkan bagi wajib pajak badan adalah merupakan pembayaran pajak penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan pajak penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.


















BAB III
PENUTUP

Simpulan
Merger atau fusi adalah suatu penggabungan satu atau beberapa badan usaha sehingga dari sudut ekonomi merupakan satu kesatuan, tanpa melebur badan usaha yang bergabung.Merger horizontal adalah penggabungan satu atau beberapa perusahaan yang masing-masing kegiatan bisnis (produksinya) berbeda satu sama lain sehingga satu dengan yang lainnya merupakan kelanjutan dari masing-masing produk.Merger vertikal adalah penggabungan satu atau beberapa  perusahaan yang masing-masing kegiatan bisnis berbeda satu sama lain, namun tidak saling mendukung dalam penggunaan produk.Konsolidasi adalah penggabungan antara dua atau lebih badan usaha yang menggabungkan  diri saling melebur menjadi satu dan membentuk satu badan usaha yang baru.Joint Venturesecara umum dapat diartikan sebagai suatu persetujuan di antara dua pihak atau lebih, untuk melakukan kerja sama  dalam suatu kegiatan Persetujuan yang dimaksud di sini adalah kesepakatan yang didasari atas suatu perjanjian yang harus tetap berpedoman kepada syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Akuisisi merupakan cara mengembangkan perusahaan yanag sudah ada atau menyelamatkan perusahaan yang sedang mengalami kekurangan atau kesulitan modal.Dalam kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai suatu hubungan hukum di mana seseorang/pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama orang/pihak prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain.Franchise pada mulanya dipandang bukan sebagai suatu usaha (bisnis), melainkan sebagai suatu konsep, metode ataupun sistem pemasaran yang dapat digunakan oleh suatu perusahaan (franchisor) untuk mengembangkan pemasarannya tanpa melakukan investasi langsung pada outlet (tempat penjualan), melainkan dengan melibatkan kerja sama pihak lain (franchisee) selaku pemilik outlet.




Saran
Dalam memulai sebuah bisnis sebaiknya perusahaan perlu memilih strategi yang baik jitu. Artinya, disini perusahaan perlu memikirkan dan memilih hubungan mana yang kiranya menguntungkan. Semua hubungan dalam perusahaan baik, tetapi perlu adanya pemikiran lebih lanjut, agar usaha yang dijalankan berjalan dengan lancar, dan berlanjut lebih lama sesuai dengan tujuan pertama kali seorang wirausaha mendirikan perusahaannya.



























DAFTAR RUJUKAN

Abdulkadir Muhammad. 2006.  Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Burton, Richard Simatupang. 2007. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Zaeny Asyhadie. 2005. Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

0 comments:

Posting Komentar