Jumat, 05 Februari 2016

PERADILAN ARBITRASE



BAB I
PENDAHULUAN
Bagian pendahuluan pada makalah ini menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan masalah.Paparan lebih lanjut sebagai berikut.
A. Latar Belakang Masalah
Dalam suatu perjanjian antara pihak atau suatu hubungan bisnis, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang terjadi seringkali terkait dengan cara melaksanakan klausal-klausal perjanjian. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, ada beberapa cara yang biasanya dipilih, yaitu dapat melalui mediasi, negosiasi, konsiliasi dan pengadilan arbitrase.
Pengertian arbitrase menurut UU No. 30 tahun 1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan definisi dari perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausal arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.Klausal arbitrase berdasarkan pada akta compromittendo dan akta kompromis. Di dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tercantum dalam pasal 13 sebagai syarat sahnya suatu perjanjian adalah: sepakat, cakap, hal, tertentu, dan sebab yang halal.
Dalam pasal 5 UU No 30 tahun 1999 disebutkan bahwa “ Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa dibidang perdagangan dan hak yang menurut hokum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”. Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam ruang lingkup keluarga.Arbitrase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan.Bagi pengusaha, arbitase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.Kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase terlihat pada pencantuman arbitration clause (klausal arbitase) dalam kontrak-konrat bisnis.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang berhubungan dengan peradilan arbitrase diantaranya adalah :
1.      Apa pengertian peradilan arbitrase?
2.      Apa saja jenis-jenis dari arbitrase?
3.      Bagaimana dengan kelebihan dan kelemahan dari peradilan arbitrase?
4.      Apa sajakah contoh kasus yang menggunakan peradilan arbitrase?




















BAB II
KAJIAN TEORI

            Menurut H. M. N Poerwosujtipto, Arbitrase dapat diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak dan yang ditunjuk oleh pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.
            Menurut H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
            Menurut Frank Elkoury dan Etna Elkoury, Arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau yang simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.
            Menurut Black’s Law Dictionary, Arbitration an arrangement for taking anabiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation.
            Menurut Prof. Subekti, Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. Menurut Pasal 1 UU No 30 tahun 1999, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

BAB III
PEMBAHASAN

Bagian pembahasan dalam makalah ini menguraikan tentang apa pengertian dari arbitrase, apa saja jenis-jenis dari arbitrase, bagaimana dengan kelebihan dan kelemahan dari peradilan arbitrase dan apa saja contoh kasus arbitase dan bagaimana analisisnya. Paparan lebih lanjut sebagai berikut.

A.    Peradilan Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa latin) yang berarti “kekuasaaan untuk menyelesaikan suatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Sebagai salah satu cara penyelesaian di luar peradilan, arbitrase dijalankan atas dasar kehendak sendiri dari para pihak yang bersengketa dalam bentuk perjanjian arbitrase. Arbitrase merupakan suatu bentuk alternative penyelesaian sengketa yang dilakukan, diselenggarakan dan diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase, yang merupakan “hakim swasta”.
            Jika arbitrase ini dibandingkan dengan mediasi, maka arbitrase ini memberikan suatu putusan berkenaan dengan hak-hak dari para pihak.Putusan itu dijatuhkan oleh suatu Dewan Arbitrase yang bisa secara tunggal maupun terdiri dari beberapa arbitrator. Jika tidak terpilih sendiri oleh para pihak, maka menurut ketentuan arbitrase WIPO, WIPO akan diangkat sebagai arbitrator tunggal, kecuali apabila dari keadaan sekitar persoalan bersangkutan, bahwa menurut pusat arbitrase ini perlu diangkat 3 orang arbitrator.
Sedangkan peradilan atau perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausal arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum sengketa atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak setelah sengketa.Apabila para pihak pemilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, maka persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Dalam hal ini para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis tersebut, maka perjanjian tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Jika para pihak telah membuat perjanjian arbitrase, maka pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terkait dlam perjanjian arbitrase dan para pihak yang bersengketa tidak lagi berhak untuk mengajukan penyelesaian sengketanya tau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri wajib untuk menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase.
Jenis sengketa yang bisa diselesaikan melalui arbitrase yaitu di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hokum dan peraturan UU dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.Jadi, sengketa-sengketa perdata diluar perdagangan, seperti sengketa di bidang keluarga tidak bisa diselesiaikan melalui arbitrase. Secara singkat sumber hukum arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
a.       Pasal 377 HIR
“Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa”.
b.      Pasal 615 s/d 651 RV
Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (pasal 615 s/d 623 RV).
Pemeriksaan di muka arbitrase (pasal 631 s/d 674 RV).
Putusan Arbitrase (pasal 631 s/d 674 RV)
Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (pasal 641 s/d 674 RV)
Berakhirnya acara arbitrase (pasal 648-651 RV)
            Dalam klausal atau persetujuan yang dibuat, para pihak harus dengan jelas mencantumkan bahwa mereka menginginkan penyeesaian sengketa melalui arbitrase, dan mereka juga telah menuangkan dengan jelas, siapa-siapa saja yang mereka tunjuk sebagai arbiter yang akan menyelesaikan sengketa mereka, tata cara apa saja yang ditempuh, bagaimana cara arbiter menyelesaikan sengketa tersebut, berapa lama sengketa tersebut harus telah diselesaikan serta bagaimana sifat dari putusan yang dijatuhkan oleh arbiter tersebut.

B.     Syarat Arbitrase
Berdasarkan pasal 66 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum republik Indonesia, jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.      Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
2.      Putusan arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
3.      Putusan arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
4.      Pusatan arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari ketua pengadilan negeri Jakarta pusat.



C.    Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara ( ad hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen( institusi) . Arbitrase ( ad hoc ) dilaksanakan berdasarkan aturan aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa atau UNCITRA Arbitarion  rules. Pada umumnya arbitrase ad hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukkan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang di sepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase ad hoc perlu  disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelolah oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan aturan yang mereka tentukan sendiri.  Saat  ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) , atau yang Internasional seperti The Rules Of Arbitraion dari The Internasional Chamber Of Commerce ( ICC) di Paris The Arbitration Rules dari The International Center For Settlement Of Investment Disputes ( ICSID ) di Washington. Badan badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri sendiri.
BANI  ( Badan Arbitrase Nasional Indonesia ) memberi standar klausal arbitrase sebagai berikut: ‘’ semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh badan arbitrase nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir. Standar klausal arbitrase (UNCITRAL )  United Nation Comission Of Internation Trade Law adalah sebagai berikut : “ setiap sengketa pertantangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan  dengan perjanjian ini, atau won prestasi, pengakhiran, atau sah tidaknya perjannjianakan diselesaikan melalui arbitrase yang sesuai.

Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:
1.      Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.
2.      Akta kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Menurut Priyatna Abdurrasyid, ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.

D.    Perjanjian Arbitrase
Suatu sengketa yang dapat diajukan ke arbitrase, harus mendapat kesepakatan terlebih dahulu dari masing-masimg pihak. Keharusan adanya persetujuan dari masing-masing pihak ini diatur dalam Pasal 7 UU No 30 Tahun 1999 bahwa, “Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.” Para pihak yang akan menempuh proses arbitrase sebagaimana di atur dalam Pasal 8 UU No 30 Tahun 1999, yakni sebagaimana berikut:
1.         Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, email atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
2.         Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase memuat yaitu,
a.         Nama dan alamat para pihak
b.         Penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku
c.         Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa
d.         Dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada.
e.         Cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
f.          Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang yang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
Perjanjian tertulis untuk menggunakan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa yang harus dibuat oleh para pihak untuk membuktikan bahwa para pihak telah mencapai kesepakatan dan hal tersebut dibuktikan dengan perjanjian arbitrase yang telah ditandatangani. Permasalahan yang mungkin terjadi untuk dapat memperoleh kesepakatan arbitrase adalah adanya kemungkinan para pihak tidak dapat menuliskan perjanjian arbitrase, apabila hal tersebut terjadi, sesuai dengan Pasal 9 UU No 30 Tahun 1999, bahwa,
“Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis harus dibuat dalam bentuk akte notaries”.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase oleh para pihak setelah terjadi sengketa, memiliki kekhususan tersendiri karena berdasarkan Pasal 9 ayat (3) UU No 30 1999, perjanjian tertulis tersebut dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 harus memuat:
a.         Masalah yang dipersengketakan
b.         Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak
c.         Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase
d.         Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan.
e.         Nama lengkap sekretaris
f.          Jangka waktu penyelesaian sengketa
g.         Pernyataan kesediaan dari arbiter
h.         Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Berdasarkan Pasal 9 ayat (4) UU No 30 Tahun 19999 akibat hukum yang terjadi apabila perjanjian tertulis tersebut tidak memuat apa yang telah diatur pada pasal diatas, maka pperjanjian para pihak batal demi hukum. Dengan adanya perjanjian arbitrse yang telah disepakati oleh para pihak, secara yuridis telah meniadakan kewenangan dari pengadilan negeri untuk memeriksa sengketa tersebut. Hal ini secara tegas di atur dalam Pasal 11 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 yang mengatur bahwa,
“ Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termasuk dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri”.
Begitu pula Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 yang mengatur bahwa,
“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa paqra pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”.
Pengadilan Negeri tidak dapat memeriksa sengketa apabila para pihak sebelumnya telah terikat dengan perjanjian arbitrase, lebih ditegaskan dalam Pasal 11 ayat (2) UU No 30 Tahun 1999, bahwa:
“Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini”
Secara otomatis pengadilan negeri tidak dapat memeriksa sengketa tersebut dan berkewajiban menolak untuk memeriksa perkara tersebut. Hal ini disebabkan oleh karateristik dari arbitrase itu sendiri yang merupakan lembaga penyelesaian untuk permasalahan di bidang perdagangan sebagaimana di atur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No 30 Tahun 1999. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase yang dimaksud dalam pasal ini yaitu sengketa yang tidak dapat diadakan perdamaian. Hal-hal tertentu sebagaimana yang dimaksud pada ayat tersebut di atas adalah apabila terdapat unsur pidana pada sengketa tersebut.

E.     Arbiter
Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase untuk memberi putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Tentunya tidak setiap orang dapat menjadi arbiter, untuk dapat menjadi arbiter pada lembaga arbitrase harus memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan pada Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 sebagai berikut :
a.  Cakap melakukan tindakan hukum
b.  Berumur paling rendah 35 tahun
c.  Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan sederajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa.
d.  Tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
e.  Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
Persyaratan ini bersifat mutlak, dalam arti harus dipenuhi oleh mereka yang berkeinginan menjadi arbiter di lembaga arbitrase. Namun, tidak semmua orang bisa menjadi Arbiter meskipun telah memiliki kualifikasi yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999. Hal ini dianggap penting karena seorang arbiter haruslah mereka yang independen, dalam ari tidak memiliki ikatan tertentu dengan institusi pemerintah seperti Hakim, jaksa, Panitera dan pejabat peradilan lainnya.hal ini dimaksudkan agar terjamin adanya objektifitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Pembatasan ini dilakukan karena kedudukan hakim, jaksa dan panitera, dan pejabat peradilan lainnya adalah sebagai pejabat public dan jabatan tersebut berkaitan secara langsung dengan pemerintah sedangkan lembaga arbitrse bukanlah lembaga yang dimiliki oleh pemerintah, sehingga sudah tepat apabila orang-orang yang memiliki jabatan tersebut tidak diperbolehkan untuk menjadi arbiter. Seorang arbiter dipilih sendiri oleh para pihak yang akan melakukan penyelesaian melalui arbitrase, apabila para pihak tersebut kesulitan dalam memilih seorang arbiter maka ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU No 30 Tahun 1999 menyebutkan, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang arbiter atau majelis arbiter.
Penunjukan arbiter dilakukan dengan cara berikut :
a. Arbiter Tunggal. Penunjukkan seseorang sebagai arbiter tunggal harus merupakan persetujaun dari pemohon dan termohon. Apabila pemohon dan termohon tidak mencapai kata sepakat, penunjukkan arbiter tunggal di tetapkan oleh BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia).
b. Majelis Arbitrase. Pemohon dan termohon menunjuk arbiternya masing-masing selanjutnya kedua arbiter tersebut memilih arbiter ketiga sebagai Ketua Majelis yang di tetapkan oleh BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia).

F.  Acara Pemeriksaan Arbitrase
Proses penyelesaian sengketa di lembaga arbitrase hampir sama dengan proses penyelesaian sengketa di pengadilan negeri, yaitu adanya prosedur beracara. Namun, proses beracara di lembaga arbitrase jauh lebih sederhana. Arbitrase adalah pemeriksaan sengketa yang bersifat tertutup dan hanya dapat dihadiri oleh pihak-pihak yang bersengketa dan kuasanya. Hal ini lebih menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase. Pemeriksaan perkara secara arbitrase berbeda dengan acara pemeriksaan pada Pengadilan Negeri.
Perbedaan-perbedaan itu antara lain:
a. Adanya jaminan kerahasiaan sengketa para pihak
b. Dapat terhindar dari keterlambatan yang diakibtakan karena hal prosedural dan administratif
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan.
d. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara sederhana saja ataupun prosedur langsung dapat dilaksanakan.
e. Adanya jangka waktu yang pasti yaitu 180 hari (Pasal 48 ayat (1)), tetapi dapat diperpanjang apabila disepakati oleh para pihak terlebih dahulu.
Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU No 30 Tahun 1999. Hal-hal yang dilakukan oleh pemohon dan termohon arbitrase adalah :
a. Pemohon membuat surat tuntutan kepada arbiter atau majelis arbiter
b. Arbiter atau majelis arbiter lalu memberikan salinan atas tuntutan tersebut kepada termohon.
c. Jawaban termohon yang diterima arbiter atau majelis arbiter diteruskan kembali kepada pemohon.
d. Arbiter atau majelis arbiter lalu memerintahkan para pihak hadir pada sidang pertama.
e. Jawaban atas tuntutan yang diajukan termohon dapat sekaligus dijadikan tuntutan balasan oleh termohon. Tuntutan balasan tersebut akan diperiksa oleh arbiter atau majelis arbiter bersama-sama dengan pokok perkara.
f. Pemohon dapat melakukan pencabutan permohonan tersebut apabila belum ada jawaban dari termohon atas tuntutanya. Sebaliknya, apabila termohon sudah memberikan jawabab atas tuntutan dari pemohon, pemohon tidak dapat lagi memcabut tuntutannya.
g. Pemohon hanya dapat mengubah atau menambah surat tuntutannya apabila penanbahan atau perubahan tuntutan tersebut mendapat persetujuan dari termohon dan hanya merupakan hal yang bersifat fakta bukan hal-hal yang menjadi dasar dari permohonan.
h. Apabila pihak termohon tidak datang pada sidang arbitrase, termohon akan dipanggil sekali lagi. Konsekuensi atas tidak hadirnya termohon pada sidang arbitrase adalah ditundanya sidang tersebut, tetapi setelah dipanggil secara patut dan tetap saja tidak datang maka sidang diteruskan dan akibatnya tuntutan pemohon arbitrase akan dikabulkan.
i. Apabila pemohon yang tidak hadir pada hari pertama sidang, maka permohonan arbitrase dinyatakan gugur dan sidang arbitrase dinyatakan selesai.
j. Apabila para pihak semuanya hadir, arbiter atau majelis arbiter mengusahakan perdamaian para pihak dahulu, jika berhasil damai maka dibuat akta perdamaian.
k. Sebaliknya apabila tidak tercapai perdamaian, maka arbiter atau majelis arbitrase akan memeriksa pokok sengketa yang terjadi diantara para pihak.
Pada penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, tuntutan atau jawaban atau suatu tuntutan berdasarkan hokum dan fakta-fakta. Para pihak harus dapat menguatkan dasar hokum dan fakta-fakta yang diajukan dengan mengajukan saksi. Saksi dalam hal ini adalah mereka yang mengetahui secara langsung pasti peristiwa yang terjadi. Saksi dapat dilibatkan pada sengketa arbitrase yang sedang diperiksa hanya apabila diperintahkan oleh arbiter, majelis arbitrase atau permintaan para pihak.
Saksi atau saksi ahli yang akan memberikan keterangan wajib disumpah terlebih dahulu. Keterangan yang diberikan oleh saksi ahli dapat diberikan secara tertulis kepada arbiter atau majelis arbitrase. Terhadap keterangan tertulis yang disampaikan oleh saksi ahli, arbiter atau majelis arbitrase akan meneruskan berupa salinan kepada para pihak. Saksi ahli yang telah memberikan keterangan secara tertulis dapat diminta hadir pada persidangan untuk didengar keterangannya.
            Arbiter atau majelis arbitrase dalam memutuskan sengketa tidak hanya berdasarkan pada argumen-argumen atau fakta-fakta yang diajukan para pihak, tetapi juga berdasarkan pendapat saksi dan saksi ahli.
Arbiter atau majelis arbitrase menganggap bahwa segala keterangan dari saksi-saksi dan dari para pihak yang didukung oleh bukti-bukti dinilai cukup, arbiter atau majelis arbitrase dapat memutuskan untuk menutup pemeriksaan dan kemudian menetapkan sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase.
Putusan dari lembaga arbitrase mempunyai mempunyai kekuatan mengikat dan bersifat final sehingga secara yuridis meniadakan hak dari masing-masing pihak yang bersengketa untuk mengajukan banding atau upaya hukum lainnya. Dalam putusan arbitrase dicantumkan jangka waktu terhadap pelaksanaan putusan yaitu dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan atas sengketa tersebut ditutup dan dalam jangka 14 hari setelah putusan diterima oleh para pihak. Hal ini akan memberikan kepastian bagi para pihak yang bersengketa untuk menjalankan putusan arbitrse tersebut.
1.      Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Setelah pemeriksaan sengketa arbitrase selesai dilakukan dan putusan telah diberikan oleh arbiter atau Majelis arbitrase, tahap selanjutnya adalah pelaksanaan dari putusan arbitrase tersebut. Pelaksanaan putusan arbitrse terdiri atas dua jenis sebagai berikut :
a. Putusan arbitrase nasional
b. Putusan dari arbitrase internasional.
Sebelum putusan dari arbitrase nasional dilaksanakan,langkah pertama yang harus dilakukan adalah, mendaftarkan putusan arbitrase tersebut ke Panitera Pengadilan Negeri. Putusan arbitrase apabila tidak didaftarkan ke Pengadilan Negeri putusan arbitrase itu tidak dapat dilaksanakan. Putusan arbitrase tersebut meskipun bersifat final dan mengikat para pihak, ada kemungkinan salah satu pihak tidak berkenan melaksanaknnya dan untuk mengantisipasinya, Pasal 61 UU No 30 Tahun 1999 memberikan ketentuan bahwa,
“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”.
Sedangkan terhadap putusan dari arbitrase internasional, yang berwenang untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanannya adalah Pengadilan Negeri dan hanya dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia. Ketua Pengadilan Negeri memiliki hak menolak atau menerima permohonan pelaksanaan putusan arbitrase, apabila permohonan diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri, pihak yang tidak bersedia untuk menerima pelaksanaan putusan arbitrase tersebut tidak dapat mengajukan banding atau kasasi. Sebaliknya, apabila permohonan tersebut di tolak oleh Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap penolakan tersebut pihak pemohon dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Setelah permohonan tersebut diterima, Mahkamah Agung akan memutuskan akan menerima atau menolak permohonan tersebut. Terhadap putusan yang diberikan oleh Mahkamah Agung, tidak dapat diajukan upaya perlawanan misalnya peninjauan kembali. Pelaksanaan putusan arbitrase membutuhkan pengadilan agar putusan arbitrase tersebut dapat dieksekusi dan pada umumnya pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa kembali putusan arbitrase. Hal ini bertentangan dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 8 Tahun 2008 tentang eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah (SEMA No 8 Tahun 2008) yang pada angka 4 menyebutkan bahwa ;
“Dalam hal putusan badan arbitrase syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dlaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”.
SEMA No 8 Tahun 2008 di atas bertentangan dengan sifat dari arbitrase itu sendiri, menyadari hal tersebut Mahkamah Agung RI pada tahun 2010 mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No 8 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa angka 4 SEMA No 8 tahun 2008 tidak berlaku sehingga para pihak tidak perlu khawatir sengketa mereka yang diselesaikan melalui BASYARNAS tidak dapat dijalankan oleh pengadilan Agama.

G. Contoh Permasalahan
Di Indonesia sendiri, minat untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase ini meningkat semenjak diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999 tersebut. Adapun beberapa hal yang menjadi keuntungan Arbitrase dibanding-kan menyelesaikan sengketa melalui jalur litigasi adalah :
1)      Sidang tertutup untuk umum ;
2)      Prosesnya cepat (maksimal enam bulan) ;
3)      Putusannya final dan tidak dapat dibanding atau kasasi ;
4)      Arbiternya dipilih oleh para pihak, ahli dalam bidang yang disengketakan, dan memiliki integritas atau moral yang tinggi ;
5)      Walaupun biaya formalnya lebih mahal daripada biaya pengadilan, tetapi tidak ada 'biaya-biaya lain' ; hingga
6)       Khusus di Indonesia, para pihak dapat mempresentasikan kasusnya dihadapan Majelis Arbitrase dan Majelis Arbitrase dapat langsung meminta klarifikasi oleh para pihak. Dalam ruang lingkup internasional, Indonesia maupun pihak-pihak dari Indonesia juga acap kali menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase.
Beberapa contoh kasusnya adalah :
1. Sengketa antara Cemex Asia Holdings melawan Indonesia yang diselesaikan melalui International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) pada 2004 sampai 2007 ;
2. Sengketa antara Pertamina melawan Commerz Asia Emerald yang diselesaikan melalui Singapore International Arbitration Center (SIAC), Singapore pada tahun 2008 ;
3. Sengketa terkait Bank Century dimana dua pemegang sahamnya menggugat Pemerintah Indonesia yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al Warraq yang diselesaikan melalui ICSID, Singapore ; hingga
4. Sengketa antara Newmont melawan Pemerintah Indonesia yang diselesaikan di ICSID, Washington DC.
5. Di tahun 2013, kerjasama Indosat dengan IM2 mengenai dugaan kasus korupsi frekuensi 2,1 Ghz atau 3G terus memanas. Kasus ini sudah memutuskan mantan direktur utama IM2 Indar Atmanto sebagai tersangka. Kasus ini juga direncanakan akan dibawa ke pengadilan arbitrase internasional. Namun, langkah ini dinilai hanya mempermalukan nama Indonesia di mata dunia.




BAB IV
PENUTUP

3.1  Simpulan
Sengketa dan perselisihan kerap kali terjadi, terutama dalam dunia bisnis. Secara umum, masyarakat Indonesia menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah dan menjadikan para tetua adat sebagai penengah atas sengketa yang terjadi. Namun, seiring dengan semakin majunya peradaban, ada kecenderungan menggunakan lembaga pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Meskipun demikian, lamanya proses pengadilan dan biaya yang relatif besar menjadi hambatan dalam menyelesaikan sengketa. Oleh karena itu, diperkenalkan alternatif untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, yakni melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan berlaku untuk sengketa-sengketa di bidang keperdataan yang menyangkut hubungan hukum antara pihak yang satu dan pihak yang lain. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan memiliki kelebihan, yaitu tidak terbuka untuk umum, biaya yang lebih murah,bersifat win-win solution,dan fleksibel dibandingkan dengan lembaga peradilan.
3.2  Saran
Melalui peradilan arbitrase memang memiliki banyak kelebihan, di samping itu masyarakat tetap dihimbau untuk tetap menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak menutup kemungkinan di peradilan arbitrase bisa terjadi oknum-oknum hukum yang menyelewengkan hak dan kewajiban mereka untuk keuntungan pribadi semata. Untuk pemerintah harus lebih tegas lagi dalam membuat keputusan khususnya jika ada permsalahan yang menyangkut dunia bisnis di tanah air agar tidak menjadi aib bagi Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA


Asyhadie, Zaeni. 2005. Hukum Bisnis (Prinsip dan Pelaksanaannya Di Indonesia).
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Gautama, Sudargo. 1990. Hukum Dagang & Arbitrase Internasional.
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

Gautama, Sudargo. 2004. Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia.
            Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Harahap, M.Yahya. 2004. Arbitrase. Jakarta : SINAR GRAFIKA.

Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani. 2003. Hukum Arbitrase.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada


0 comments:

Posting Komentar